Jaksa Dilarang PK, Jaksa Daerah Belum Dapat Arahan
Berita

Jaksa Dilarang PK, Jaksa Daerah Belum Dapat Arahan

RUU KUHAP akan cegah obral PK.

Oleh:
MYS/RIA
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah. Foto: RES
Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah. Foto: RES
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharamkan jaksa mengajukan PK belum diikuti petunjuk atau arahan dari Kejaksaan Agung. Setidaknya, begitulah informasi yang diperoleh hukumonline dari Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Didi Suhardi. “Sampai saat ini belum ada ya”, ujarnya kepada hukumonline.

Didi menduga putusan Mahkamah Konstitusi itu akan dibahas secara lengkap dalam rapat kerja teknis Kejaksaan. Instruksi dari atasan juga belum ada, apakah masih boleh mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk perkara yang sedang berjalan. “Belum,” tegasnya.

Pada 11 Mei lalu, Mahkamah Konstitusi memutuskan hanya terpidana dan ahli warisnya yang bisa mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Memaknai lain pasal itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, penuntut umum tak lagi mengajukan PK. Kewenangan jaksa mengajukan PK itulah yang selama puluhan tahun menjadi polemik dalam pelaksanaan KUHAP.  

Secara pribadi, Didi mengatakan normatifnya memang Pasal 263 ayat (1) KUHAP hanya menyebut terpidana atau ahli warisnya. Tetapi Kejaksaan sebagai wakil negara harus melindungi kepentingan umum. Jika ada esensi keadilan yang terganggu, maka penuntut umum harus tampil mewakil negara. Termasuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. “Ini pendapat pribadi,” ujarnya.

Bagaimanapun putusan MK berlaku erga omnes sejak saat dibacakan, sifatnya final dan mengikat. Putusan ini menjadi bahan bagi tim penyusun RUU KUHAP.

Cegah obral PK
Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP 1999-2009, Andi Hamzah, mengatakan RUU KUHAP berusaha mencegah ‘obral’ PK. Ia membandingkan dengan praktik di Belanda dan Perancis. Di kedua negara ini PK sangat jarang, bisa sekali dalam sepuluh tahun.

Nah, RUU KUHAP, kata Prof. Andi Hamzah, menentukan bahwa putusan PK diterima atau tidak diputus di sidang pleno Mahkamah Agung yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung. Ditentukan pula, Mahkamah Agung hanya memutus permohonan PK diterima atau ditolak. “Jadi, tidak mungkin ada putusan PK yang dulu bebas menjadi dipidana. Tidak mungkin juga ada putusan lebih ringan dengan alasan kemanusiaan. Kalau pertimbangan kemanusiaan mestinya lewat grasi,” jelasnya.
Tags:

Berita Terkait