Mohamed Idwan Ganie: Dressed Like a Lawyer sebagai ‘Seragam’ Advokat
Utama

Mohamed Idwan Ganie: Dressed Like a Lawyer sebagai ‘Seragam’ Advokat

Advokat sebagai officium nobile secara tradisional memiliki pakaian konservatif-formal. Maksudnya dengan toga ketika beracara di pengadilan dan formal sewaktu di luar pengadilan. Bagi mayoritas advokat berlaku ‘dress like a lawyer’ dengan segala variasinya, kecuali advokat yang sangat sukses.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, gaya berpakaian tidak dapat menjadi substitusi kompetensi profesional seorang advokat. Namun harus jadi “kemasan” yang mencerminkan kompetensi benar adanya. Dari cara berpakaian yang rapih dapat menjadi semacam janji kompetensi dalam diri advokat yang bersangkutan. Salah satu "nilai jual" utama bagi advokat adalah kepercayaan klien, seharusnya berpenampilan sedemikian rupa mendukung "nilai jual" utama menjadi semacam guiding principle.

Idwan sendiri selama ini memiliki kecenderungan formal dalam memilih pakaiannya, sehingga berisiko overdressed. Sejalan dengan aturan yang umum di masyarakat, masih lebih baik dan aman untuk overdressed ketimbang underdressed. Terlebih, adanya fakta bahwa cara berpakaian advokat kini tidak sebatas alasan profesi atau sekedar selera, tetapi ada keperluan asimilasi dengan lingkungan klien. Misalnya, gaya berpakaian golongan baby boomer dengan millennial tentu berbeda.

Di LGS sendiri, alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan University of Hamburg itu mengaku tidak ada peraturan baku tertentu mengenai standar pakaian bekerja. Namun para advokat LGS umumnya telah memahami gaya berpakaian yang kiranya menunjang kesuksesan atau dressed for success. Meski fondasi kesuksesan adalah kompetensi profesional, namun kompetensi tersebut tidak akan cukup bila tidak dibarengi dengan personal branding yang unik dan menarik melalui cara berpakaian.

Cara berpakaian sehari-harinya juga akan tergantung apakah memiliki janji bertemu dengan klien atau tidak, belum lagi selama work from home (WFH). Banyak advokat di LGS memakai busana sedemikian rupa agar cocok dengan tiap kesempatan mengingat seringnya terjadi perubahan jadwal secara tiba-tiba. “Alternatif menyediakan dua pasang pakaian. Satu formal dan satu lagi santai. Atau pakaian santai yang bisa ‘disulap’ menjadi formal. Untuk pria misalnya tinggal tambah dasi dan blazer. Di kantor hukum lain trend juga seperti itu,” ucapnya.

Bagi Kiki Ganie, ‘how and what to wear’ merupakan bagian dari personal branding yang tidak dapat terpisahkan. Berbeda dengan dahulu dimana personal branding bukan isu penting bagi profesi advokat, kini keberadaannya menjadi semakin penting. Advokat haruslah memorable hingga memperhatikan cara berpakaiannya tentu ‘in a good way’.

Chairman the Indonesian Anti-Trust Lawyers Association itu menganggap kesan yang dapat membentuk persepsi orang tergantung pada 40 detik pertama berjumpa untuk kali pertama. Dengan intensi untuk memberi kesan positif terhadap klien, tentu 40 detik terlalu singkat jika hendak membuktikan kompetensi profesional. Karena itu, orang akan lebih memperhatikan bagaimana cara berpakaiannya.

Berbeda dengan profesi lain, kata dia, cara berpakaian advokat sepatutnya dapat mendukung kompetensi profesional dan status khusus officium nobile yang disandang. “Tetap. Tidak boleh terlalu fashionista atau bling, sehingga bisa counterproductive. Banyak lawyers lupa trust is my bond sebagai bagian dari pesan penampilan secara keseluruhan,” tuturnya.

Meski demikian, sebetulnya di dunia profesi advokat terdapat pengecualian cara berpakaian. Terdapat segelintir beberapa advokat yang tidak berpakaian “like a lawyer”. Biasanya advokat yang sudah sangat sukses dan telah bekerja keras sampai orang-orang tidak lagi peduli dengan cara berpakaian advokat yang bersangkutan. “Tapi tetap bagi mayoritas advokat berlaku ‘dress like a lawyer’ dengan segala variasinya.”

Tags:

Berita Terkait