Moratorium TKI ke Arab Saudi Tetap Berlaku
Berita

Moratorium TKI ke Arab Saudi Tetap Berlaku

Sampai para pihak terkait siap menjalankan klausul yang tertuang dalam perjanjian bilateral.

ADY
Bacaan 2 Menit
Moratorium TKI ke Arab Saudi Tetap Berlaku
Hukumonline
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menegaskan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Arab Saudi masih berlaku. Dinas Tenaga Kerja di seluruh Indonesia diimbau meningkatkan pengawasan terhadap kemungkinan adanya penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Arab Saudi. Sekjen Kemenakertrans, Abdul Wahab Bangkona, menegaskan kepastian moratorium tersebut setelah sejumlah anggota DPR melayangkan kritik atas perjanjian ketenagakerjaan Indonesia-Arab Saudi.

"Kami tegaskan sampai saat ini status moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Arab Saudi tetap berlaku sehingga penempatannyabelum diperbolehkan" kata Bangkona.

Menurut Bangkona, penempatan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi belum dapat dilakukan karena masih menunggu pemenuhan klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian bilateral itu. Tindak lanjut dari perjanjian itu dilaksanakan Joint Working Committee (JWC) yang beranggotakan wakil dari kedua negara.

"Moratorium TKI ke Arab Saudi akan tetap berlaku sampai tercapainya sistem,mekanisme, dan persyaratan serta standar perjanjian kerjayang lebih baik dalam memberikan jaminan perlindungan dan pencapaian kesejahteraan TKI," urai Bangkona.

Misalnya, perjanjian kerja harus memuat jenis pekerjaan dan jam kerja, lokasi kerja, hak dan kewajiban penggina jasa serta pekerja migran, besaran upah dan cara pembayarannya. Demikian pula libur sehari dalam sepekan, hak cuti, perpanjangan dan penghentian perjanjian kerja. Perjanjian kerja juga mencakup pemenuhan hak pekerja migran Indonesia dalam penyediaan akses informasi, hak pekerja migran memegang paspor, asuransi dan perawatan kesehatan. Bangkona juga menjelaskan perlu kontrol terhadap biaya penempatan, sistem online untuk rekrutmen dan penempatan, panduan penempatan dan perlindungan, mekanisme bantuan 24 jam lewat call center dan repatriasi.

“Pencabutan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Arab Saudi akan ditetapkan setelah pemerintah Indonesia dan Arab Saudi beserta semua stakeholder dapat menjalankan poin-poin perjanjian dan menyepakati seluruh sistem, mekanisme dan persyaratan,“ tandas Bangkona.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, kebijakan moratorium ke Arab Saudi yang bergulir sejak 1 Agustus 2011 dipicu berbagai kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia. Sayangnya, tindakan yang merugikan pekerja migran Indonesia itu  tidak diikuti penegakan hukum kepada pelaku. Akhirnya berbagai pihak mendesak pemerintah melakukan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi.

Anis melihat kondisi itu sebagai sebuah ironi karena Arab Saudi merupakan negara penempatan pertama yang secara formal diatur dalam reguasi di Indonesia pada kurun 1980-an. Lewat SK Menakertrans No.Kep.149/Men/1983 tentang tata cara pelaksanaan pengerahan tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi, telah lahir banyak perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi.

Dari catatan Migrant Care, tiga tahun sejak SK Menakertrans itu diterbitkan terdapat 228 PJTKI. Sekarang jumlahnya meningkat menjadi 500 perusahaan. Sayangnya, proses penempatan yang dilakukan berbagai perusahaan itu menurut Anis lebih mirip perdagangan manusia ketimbang perlindungan dan penempatan pekerja migran Indonesia.

Walau pemerintah telah menerbitkan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Anis merasa regulasi itu tidak mampu memberi perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Sebab, hampir seluruh pasal dalam peraturan itu mewarisi kebijakan pekerja migran Indonesia masa Orde Baru yang sifatnya pengerahan dan penguasaan, bukan perlindungan.

“Alih-alih membuat regulasi yang melindungi, pemerintah malah memberi peluang yang sangat besar kepada swasta yang selama ini menikmati keuntungan bisnis yang luar biasa dan menjadi bagian dari masalah yang terus mendera buruh migran Indonesia,” papar Anis.

Anis menyoroti upah bagi pekerja migran Indonesia dalam perjanjian. Ia khawatir standar upah pekerja migran Indonesia bakal diserahkan kepada mekanisme pasar. Jika benar ini menunjukan perjanjian bilateral yang dijalin belum menekankan pada perlindungan pekerja migran tapi masih berorientasi bisnis. “Migrant Care juga menyayangkan proses pembahasan dan penandatanganan MoU yang terkesan diam-diam dan tanpa melibatkan masyarakat sipil maupun parlemen,” pungkas Anis.
Tags:

Berita Terkait