Napak Tilas 20 Tahun UU Perlindungan Konsumen
Fokus

Napak Tilas 20 Tahun UU Perlindungan Konsumen

BPKN dan BPHN sudah menyuarakan pentingnya revisi UU Perlindungan Konsumen. Ikatan Hakim Indonesia juga menyelenggarakan diskusi perlindungan konsumen di era digital.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Kedua, khusus untuk perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak kekayaan intelektual, sengaja tidak diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Pemerintah dan DPR menyerahkan pengaturannya pada Undang-Undang khusus bidang kekayaan intelektual seperti UU Hak Cipta, UU Paten, dan UU Merek. Demikian pula perlindungan konsumen yang berkaitan dengan lingkungan hidup, diatur dalam Undang-Undang yang membidangi lingkungan hidup.

 

Kesadaran para penyusun UU Perlindungan Konsumen juga tercatat dalam dokumen historis. “Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, UU tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”. Dan, perundang-undangan yang dimaksud, faktanya, terus berkembang di lapangan. Indonesia kini sudah memiliki aturan perdagangan baru, yakni UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di bawah Kementerian Perdagangan pula, ada satu direktorat yang khusus mengurusi isu-isu konsumen.

 

Selama hampir 20 tahun diberlakukan, UU Perlindungan Konsumen termasuk yang terus disorot. Dua faktor penting yang mempengaruhinya adalah advokasi isu-isu konsumen yang diusung lembaga swadaya masyarakat seperti yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan munculnya kasus-kasus konsumen yang bermuara ke pengadilan. YLKI, misalnya, mengadvokasi dan membantu gugatan konsumen terhadap kecelakaan kereta api di Brebes, dan kenaikan harga elpiji di Jakarta. Tetapi yang terbilang fenomenal adalah gugatan-gugatan konsumen yang diajukan advokat David Tobing.

 

Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPKS) juga ikut disorot. Laporan Mahkamah Agung tahun 2018 memperlihatkan ada 100 perkara yang ditangani BPSK masuk ke Mahkamah Agung, ditambah 7 perkara sisa tahun sebelumnya, sehingga total ada 107 perkara yang harus ditangani. Perkara konsumen menempati urutan kedua perkara terbanyak di kamar perdata khusus setelah perkara Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).

 

(Baca juga: Palu Hakim Konsisten Koreksi Kewenangan BPSK)

 

Era Digital

Kesadaran konsumen terus tumbuh seiring perkembangan zaman. Salah satu perkembangan yang berpengaruh besar terhadap isu perlindungan konsumen adalah era digital. Ekonomi digital menimbulkan dinamika transaksi yang berbeda dibandingkan dengan saat UU Perlindungan disusun. Kini, ekonomi digital tumbuh pesat. Pemesanan barang lewat transaksi elektronik sudah lazim terjadi (akan diulas tersendiri). Konsumen dimanjakan, tetapi sekaligus berpeluang dikecewakan jika barang yang dipesan tak sesuai perkiraan. Peluang sengketa konsumen tentu saja terbuka. Kasus-kasus yang muncul dalam transaksi elektronik berdampak luas pada pengertian dan penggunaan uang, serta pada aspek-aspek hukum perjanjian.

 

Dalam suatu transaksi elektronik, konsumen dan pelaku usaha diberikan kemudahan melalui proses sederhana, cara dan alat pembayaran mudah, sekaligus pengiriman barang pesanan yang mungkin lebih cepat. Bahkan dapat dipesan lebih cepat asalkan bersedia membayar lebih mahal. Namun tak semua barang yang dipesan sesuai ekspektasi. Mungkin saja ada cacat tersembunyi pada barang pesanan, atau jasa layanan tidak memuaskan. Yang jelas, ada perbedaan antara transaksi perdagangan umum dan transaksi elektronik dalam hal bentuk perjanjian yang tunduk pada Buku III KUH Perdata, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Kesadaran konsumen pada hak-haknya menyebabkan perubahan pandangan pada perjanjian. Selama ini, perjanjian dalam bisnis perumahan, misalnya, berjalan secara sepihak. Developer membuat sendiri aturan-aturan yang kemudian ditandatangani oleh konsumen jika mereka setuju. Kini, perjanjian kredit bank, kredit motor, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah atau apartemen sudah banyak dikritik. Pencantuman klausula baku adalah yang paling banyak dikritik. Itu sebabnya, bagian ini juga perlu mendapat ulasan tersendiri.

Tags:

Berita Terkait