Napi Kabur Saat Bencana, Bisakah Menambah Sanksi Pidana?
Berita

Napi Kabur Saat Bencana, Bisakah Menambah Sanksi Pidana?

Ada hak yang bisa dikurangi.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi bencana alam. Ilustrator: HGW
Ilustrasi bencana alam. Ilustrator: HGW

Gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, masih bersatus tanggap darurat. Pemerintah daerah setempat memberlakukan status ini hingga 26 Oktober mendatang. Setelah melewati batas waktu yang ditentukan tersebut, fokus pemerintah dan pemda adalah pemulihan pasca bencana alam.

Pencabutan status tanggap darurat menjadi sirine khusus bagi narapidana atau warga binaan yang belum kembali ke Lembaga Pemasyaraktan (Lapas) pasca gempa dan tsunami di Sulteng. Hari tersebut merupakan batas akhir kembali ke tahanan atau lapas bagi yang berstatus narapidana. Jika tidak, narapidana bersangkutan akan dinyatakan buron atau masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).

Berdasarkan data dari Kemkumham hingga Selasa (16/10), jumlah napi di Lapas Palu sebelum gempa sekitar 566 orang. Saat ini yang sudah kembali berjumlah 286 orang dan yang masih berada di luar lapas 275 orang. Lalu, yang ada di lapas lain sebanyak 5 orang. Di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Palu total warga binaan 96 orang, yang sudah kembali ke lapas sebanyak 46 orang. Narapidana yang masih di luar 50 orang dan 18 di antaranya sudah melapor dan yang di luar lapas tetapi belum lapor berjumlah 32 orang.

Jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak berjumlah 28 orang, yang sudah kembali 23 orang, yang sudah lapor 5 orang. Di Rutan Palu, jumlah seluruh warga binaan 458. Jumlah napi yang sudah kembali 190 orang, sudah lapor tetapi masih di luar 248 orang, dan sisanya masih kabur. Di Rutan Donggala, jumlah narapidana sebelum gempa 342 orang, yang ada di rutan 39 orang, dititipkan di Rutan Palu 52 orang, dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan 10 orang, dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak 1 orang, sisanya masih kabur.

(Baca juga: Berharap Ada Standar Penanganan Khusus Napi Lansia).

Jika terjadi bencana alam, ‘melepaskan’ narapidana/warga binaan atau tahanan adalah prioritas. Petugas Lapas harus mengutamakan keselamatan jiwa seluruh narapidana. Menurut Ade Kusmanto, Kabag Humas Ditjen Pemasyarakatan, dalam SOP yang berlaku, saat bencana terjadi warga binaan dikeluarkan dan dikumpulkan untuk dievakuasi di dalam, suatu wilayah titik kumpul. Jika bencana alam terus terjadi dan tidak dimungkinkan untuk dievakuasi di satu tempat, maka narapidana akan dikeluarkan untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Dijelaskan Kusmanto, jika terjadi bencana alam yang paling diutamakan adalah keselamatan jiwa warga binaan, baru kemudian menyelamatkan aset negara. “Setelah ada bencana warga binaan dikeluarkan semua itu dikumpulkan, dievakuasi dalam suatu wilayah titik kumpul di lapangan, apabila itu masih bisa di data, itu didata. Apabila kalau kondisinya tidak bisa di data dan bencana alam yang terus terjadi ya dikeluarkan utk menyelamatkan diri masing-masing,” kata Ade.

Kondisi alam yang terdampak bencana menjadi pertimbangan lain bagi pihak Kemkumham untuk meminta narapidana/warga binaan kembali ke Lapas. Jika pemerintah daerah setempat belum mencabut status tanggap darurat, maka pihak Kemkumham beserta Kepolisian tidak akah meminta narapidana/warga binaan untuk kembali ke Lapas. Pertimbangan lainnya adalah kondisi infrastruktur dan ketersediaan logistik. Narapidana/warga binaan hanya wajib lapor hingga situasi kondusif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait