Hak atas Kesehatan Narapidana Narkotika Terabaikan
Berita

Hak atas Kesehatan Narapidana Narkotika Terabaikan

Hak atas kesehatan merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki oleh setiap warga negara.

CR-7
Bacaan 2 Menit
Hak atas Kesehatan Narapidana Narkotika Terabaikan
Hukumonline

Kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) bagi kesehatan para narapidana narkotika sangat memprihatinkan. Padahal, kesehatan merupakan hak dasar yang dimiliki oleh seluruh warga negara, termasuk narapidana. Kegelisahan inilah yang terungkap di dalam sebuah diskusi publik “Hak atas Kesehatan bagi Pemakai Narkotika yang Ditahan”, Kamis (19/11)

 

Lita Surya Dinata dari Voice of Human Rights (VHR) menyatakan bahwa hak atas kesehatan adalah hak fundamental yang seringkali tidak diperhatikan. Menurut Lita, bahkan pelanggaran terhadap hak atas kesehatan seringkali tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM, hanya karena pelanggaran tersebut tidak sistematis.

 

Ricky Gunawan, Direktur Program LBH Masyarakat menegaskan bahwa negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan bagi seluruh warganya. “Kalau bicara hak asasi manusia, selalu diikuti dengan tanggung jawab negara,” tukasnya.

 

Ricky menjelaskan hak atas kesehatan di dalam lapas, prinsip sederhananya adalah, ketika seorang narapidana masuk ke dalam lapas dalam keadaan sehat, maka dia tidak boleh keluar dengan keadaan sakit. Sementara, apabila seorang narapidana masuk dalam keadaan sakit, maka jangan sampai di dalam lapas narapidana tersebut menjadi semakin sakit.

 

Untuk narapidana narkotika, Ricky memandang ada penerapan logika yang salah dengan memproses orang-orang yang ketergantungan narkotika di dalam pidana. “Jangan dipenjara tapi berikan dia kesehatan, supaya dia pulih kesehatannya,” ujar Ricky.

 

Over kapasitas

Sementara Muqowimul Aman, Direktur Bina Khusus Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, mengungkapkan bahwa yang menjadi akar masalah di lapas adalah over kapasitas. Menurut Wim, begitu ia akrab disapa, kapasitas seluruh lapas dan rumah tahanan (rutan) yang ada di Indonesia pada September 2009, berjumlah 89.549 orang. Sementara jumlah seluruh narapidana dan tahanan pada masa yang sama adalah sebanyak 140.423 orang.

 

Kelebihan kapasitas, kata Wim, juga berdampak pada aspek kesehatan. Setidaknya, jika jumlah orangnya terlalu banyak penularan penyakit juga menjadi sangat cepat. Makanya, angka kematian di dalam lapas juga cukup tinggi. Selama tahun 2008, terdapat 750 orang narapidana atau tahanan yang meninggal di dalam lapas. Dari jumlah tersebut 533 orang di antaranya, meninggal dalam masa tinggal satu hari sampai dengan enam bulan.

 

Kondisi ini, menurut Wim, menunjukkan bahwa sebetulnya para narapidana atau tahanan tersebut sudah membawa penyakit dari luar. Hal itu diperparah dengan kondisi lapas yang over kapasitas. Oleh karenanya, Wim berpendapat pemakai pemula seharusnya tidak perlu dimasukkan ke dalam lapas. Wim khawatir para pemakain pemula justru akan bertemu dengan pengedar atau bandar narkotika sehingga potensi mereka untuk terus menjadi pemakai terus berkembang. Apalagi, peredaran narkotika di dalam lapas memang nyata terjadi. “Lapas pasti jadi pasar potensial,” ujarnya.

 

Sebenarnya, sudah dimungkinkan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara kepada pengguna narkotika, tetapi mengirim ke tempat rehabilitasi. Wim menyebutkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2009, sebagai dasar hukum yang bisa digunakan hakim dalam memutuskan seorang pengguna narkotika untuk dikirim ke panti rehabilitasi.

 

Sehingga bagi Wim, yang menjadi penting adalah persepsi dari penegak hukum itu sendiri. “Semua instansi penegak hukum harus satu persepsi terlebih dahulu,” tegasnya. Maksudnya, hakim harus bisa melihat pilihan untuk mengeluarkan putusan mengirim terdakwa pengguna narkotika untuk menjalani rehabilitasi.

 

Masa menjalani proses rehabilitasi itu sendiri di dalam SEMA dihitung sebagai masa menjalani hukuman. Karenanya, menurut Wim apabila hakim-hakim juga belum satu perspektif, SEMA ini tidak akan berjalan.

 

Selain itu, Wim juga mengkritik penetapan target kepolisian dalam hal pemberantasan narkotika, yang berdasarkan jumlah orang. Ia menyebutkan, kalau targetnya saja satu polsek lima orang per bulan, maka apabila dijumlahkan seluruh polsek di Indonesia, sudah pasti memberikan beban kapasitas luar biasa kepada lapas.

Tags: