Nikah Siri Bisa Dijerat Pasal Pidana? Simak Penjelasan Hukumnya
Berita

Nikah Siri Bisa Dijerat Pasal Pidana? Simak Penjelasan Hukumnya

Dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri (perkawinan siri), terlebih lagi mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Menikah secara siri atau lebih dikenal dengan nikah siri bukanlah hal baru di Indonesia. Banyak pihak yang melakukan pernikahan secara siri dengan berbagai alasan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri berarti pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, sehingga perkawinan tersebut menurut agama Islam sudah sah. Ketentuan secara khusus mengenai nikah siri sendiri sampai saat ini belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

Dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri (perkawinan siri), terlebih lagi mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Istilah siri sendiri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia.

Ada beberapa perngertian nikah siri di dalam masyarakat. Pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;

Kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam). Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Namun perlu diketahui bahwa pro kontra terhadap perkawinan siri di Indonesia ternyata memiliki konsekuensi Pidana terhadap praktik kawin siri tersebut. Terlebih lagi, kawin siri dilakukan oleh pria yang sudah berumah tanggga dan melakukan perkawinan tanpa seizin istri pertamanya.

Dalam artikel Hukumonline sebelumnya, pakar pidana Chairul Huda dalam diskusi yang digelar di Hotel Atet Century, beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa pada dasarnya kawin siri dapat dikenakan pidana, salah satunya dengan peggunaan Pasal 279 KUHP. Namun sayangnya, penggunaan pasal tersebut di pengadilan belum konsisten. (Baca Juga: Penerapan Pasal 279 KUHP untuk Kawin Siri Dinilai Belum Konsisten)

“Sebenarnya bisa dikenakan Pasal 279, di mana perkawinan terhalang dengan perkawinan lain atau perkawinan-perkawinan lain. Untuk sang suami yang ingin menikah siri, dia terhalang dengan perkawinannya, yang disebut pertama kali. Sedangkan untuk yang perempuan pernikahannya terhalang oleh perkawinan-perkawinan lain yang disebutkan di unsur kedua” ujar Chairul.

Pasal 279 KUHP ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; 2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

Ayat (2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 - 5 dapat dinyatakan.

Sayangnya, kata Chairul, karena Indonesia tidak menganut sistem yurisprudensi maka setiap hakim dapat menafsirkan secara berbeda-beda pasal tersebut. Menurutnya, ada yang menyatakan tidak menjadi masalah ketika yang dilakukan adalah kawin siri, namun ada juga yang menyatakan bersalah walaupun perkawinan yang dilakukan adalah kawin siri.

Nikah Siri dan Pidana Perzinahan

Di Indonesia, hukum mengenai perkawinan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Maka UU Perkawinan dan turunannya diperlukan dalam menganalisis kasus perzinahan (overspel). Pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan (diatur dalam KUHP).

Bagaimana dengan perzinahan? Berdasarkan Pasal 284 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perzinahan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1: “a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.”

Dalam Pasal 284 ayat (1) ke-2 disebutkan bahwa: “a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.”

Sementara, dalam Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjelaskan bahwa dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

Menurut R. Sughandi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya (hal. 302), pengertian umum zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan.

Sementara R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) mendefinisikan zinah sebagai Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.

Soesilo juga berpendapat bahwa supaya masuk pasal ini (Pasal 284 ayat (1) KUHP), maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Menurut Soesilo, yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Februari 1912.

Pertanyaanya, apakah menikah siri bisa dijerat dengan pasal perzinahan? Sebagai referensi, Pengadilan Negeri Solok pernah menjatuhkan hukuman pidana perzinahan terhadap pelaku nikah siri. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 56/Pid.B/2014/PN.Slk Tahun 2014, kedua terpidana dinyatakan bersalah karena memenuhi unsur dari Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a dan ke-2 huruf b KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dikarenakan ia melakukan zina/gendak (overspel) meskipun telah menikah secara siri.

Dalam kasus tersebut, nikah siri yang dimaksudkan adalah nikah yang tidak dicatatkan. Majelis Hakim menyatakan bahwa kedua terpidana tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinahan dan turut serta melakukan perzinahan beberapa kali”, dimana terdakwa I masih terikat perkawinan yang sah dengan istrinya. Dalam amarnya, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) bulan.

Jika menganalisa putusan tersebut, ratio legis dari Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan adalah pencatatan perkawinan dibutuhkan di kemudian hari sebagai validitas perkawinan.

Kawin yang dimaksud di sini adalah sebagaimana diatur di Pasal 2 UU Perkawinan, yakni dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

 

Tags:

Berita Terkait