Begini Repotnya Dampak Hukum Nikah Siri
Berita

Begini Repotnya Dampak Hukum Nikah Siri

Meskipun sah dimata agama Islam, nikah siri tidak diakui oleh negara. Akibatnya, anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum di hadapan negara.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Pernikahan. Foto: Istimewa
Pernikahan. Foto: Istimewa
Seorang perempuan berinisial EJS, mengaku terpaksa menjalani pernikahan secara siri. Hanya pihak keluarganya dan terbatas beberapa orang keluarga suaminya saja yang tahu, tanpa dicatatkan pula di Kantor Urusan Agama (KUA). Pasalnya, usianya sudah hampir berkepala empat saat menikah. Sementara itu, laki-laki idaman yang telah menjalin asmara selama lima tahun dengannya, baru ia ketahui belakangan ternyata sudah memiliki istri.

“Ya, bagaimana lagi. Mungkin ini memang sudah jalan hidup saya. Saya sudah terlanjur cinta dengan dia. Secara ekonomi juga dia mapan dan siap menjamin hidup saya, anak kami, dan orang tua serta adik-adik saya. Kalaupun saya tidak menikah secara siri, saya tidak yakin bisa mendapatkan laki-laki lain yang semapan dia,” aku EJS kepada hukumonline, Kamis (12/10).

Bagi EJS, sepertinya tak ada pilihan lain. Situasi percintaannya yang rumit membuatnya berani memutuskan untuk menikah siri. Baginya, yang terpenting pernikahannya sah secara agama dan suaminya mau bertanggung jawab secara ekonomi. Namun, setelah melahirkan anak pertama, EJS baru tersadar banyak konsekuensi hukum yang harus dihadapinya lantaran status pernikahannya tak diakui oleh negara.

EJS tentu tak sendiri, masih banyak pelaku nikah siri lain di Indonesia. Belum lama ini misalnya, ada sebuah situs internet yang menawarkan jasa sebagai penghubung bagi yang ingin menikah siri. Masalahnya, nikah siri menimbulkan banyak dampak hukum bagi para pelakunya.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Namun, dalam ayat selanjutnya UU Perkawinan mewajibkanpencatatan perkawinan untuk mendapatkan akta perkawinan. (Baca: Penerapan Pasal 279 KUHP untuk Kawin Siri Dinilai Belum Konsisten)

Jadi, akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Hanya saja, ketiadaan bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki legalitas di hadapan negara. Jadi, perkawinan siri memang sah secara agama. Tetapi, tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara. Dengan kata lain, perkawinan siri tidak diakui oleh negara.

Akibat tidak adanya legalitas ini memunculkan dampak hukum lain menyangkut status anak dari pernikahan siri. Berdasarkan artikel klinik hukumonline, menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.

Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. (Baca Juga: Meski Telat, Perjanjian Perkawinan Perlu Didaftarkan)

Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tua-nya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya.

Selama belum ada putusan pengadilan mengenai pengakuan sang ayah terhadap anak hasil pernikahan siri, maka anak tersebut menurut Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak berhak mewaris dari ayahnya. Sebab, sang anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Sedangkan, menurut Pasal 863 KUHPerdata, jika anak hasil pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya maka ia berhak mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah. (Baca Juga: Nikah Siri Dinilai Melanggar Prinsip Perlindungan Anak)

Selain itu, jika di kemudian hari salah satu pasangan dalam pernikahan siri ingin berpisah dan menikah lagi secara sah dengan orang lain, status pernikahan siri juga bisa menjadi ganjalan. Tidak adanya legalitas berupa buku nikah sebagai bukti diakuinya pernikahan oleh negara, berdampak pada proses perceraian.  

Merujuk artikel klinik hukumonline, orang yang melakukan pernikahan siri dan ingin bercerai, harus menghadap Pengadilan Agama untuk melakukan itsbat nikah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 huruf (a) KHI yang mengatur bahwa itsbat nikah harus dilakukan berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Saadi, menilai pernikahan siri lebih banyak membawa masalah ketimbang manfaat. Pada tahun 2006, melalui keputusan Ijtima Ulama Se-Indonesia ke-2 di Pondok Pesantren Moderen Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, MUI mengeluarkan fatwa mengenai nikah siri.

Fatwa tersebut menyatakan nikah siri memang sah secara agama asalkan syarat dan rukun nikah terpenuhi. Namun,ia mengatakan bahwa para ulama sepakat, pernikahan harus dicatatkan secara resmi ke administrasi Negara yaitu, KUA atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.

Lebih lanjut, Zainut menambahkan bahwa MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Nikah siri dapat disahkan hukumnya apabila memenuhi syarat dan rukun nikah. Meski begitu, pernikahan tetap bisa dapat dikatakan haram apabila menimbulkan mudharat (dampak negatif),” kata dia.

Tags:

Berita Terkait