Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA
Fokus

Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA

Belakangan ini, MA mengeluarkan beberapa fatwa yang bukan ditujukan pada lembaga tinggi negara. Fatwa bisa dianggap angin lalu jika tidak sesuai dengan keinginan lembaga tinggi negara itu. Namun, seringnya MA mengeluarkan fatwa kepada semua pihak mengesankan obral fatwa dan menurunkan kewibawaan MA.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit

Memang, tidak ada peraturan yang melarang seseorang pailit menjadi gubernur. Namun kalau kita lihat Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), di situ dinyatakan secara tegas bahwa  orang yang pailit dilarang menjadi direktur atau komisaris suatu PT.

Logikanya, jika memimpin perusahaan yang ruang lingkupnya lebih kecil dari sebuah propinsi saja dilarang, apalagi memimpin suatu propinsi yang stakeholder-nya jelas lebih banyak. Kalau memimpin perusahaan saja tidak becus, bagaimana mau memimpin suatu propinsi?

Namun, yang lebih membuat dahi berkerut adalah surat ketua MA pada  Kejaksan Agung. Isinya menyatakan bahwa Tommy Soeharto harus menjalani sebelas bulan masa hukuman yang seharusnya dijalani sejak putusan kasasi yang menghukum 18 bulan penjara sampai dengan keluarnya putusan PK yang membebaskan Tommy Soeharto.

Surat ketua MA ini menjawab permintaan Kejaksaan Agung yang meminta fatwa kepada MA untuk membatalkan putusan PK MA yang membebaskan Tommy. Walau berbagai pihak menyebut surat Ketua MA Bagir Manan  pada kejaksaan ini sebagai fatwa, Bagir sendiri pada saat itu mengatakan bahwa suratnya pada kejaksaan hanyalah surat biasa yang tidak berkekuatan hukum tetap.

Lembaga tinggi negara

Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan fatwa MA? Pasal 37 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain. Jadi berdasarkan Pasal 37 tersebut, pertimbangan hukum atau pendapat hukum MA hanya bisa diberikan pada lembaga tinggi negara.

Pertimbangan hukum atau biasa disebut dengan fatwa diberikan pada lembaga tinggi negara pun bersifat tidak mengikat, sehingga bisa dipatuhi ataupun diabaikan oleh lembaga terkait. Karena itu, seorang pengamat hukum pernah mengusulkan agar isi pasal 37 tersebut diubah.

Pasalnya untuk apa suatu supreme court, lembaga tertinggi di bidang hukum, diberikan kewenangan untuk memberikan fatwa atau pertimbangan hukum. Namun, fatwa itu bisa dianggap angin lalu jika tidak sesuai dengan keinginan  lembaga tinggi negara itu. Jenis fatwa seperti itu dianggap hanya akan merendahkan kewibawaan MA.

Halaman Selanjutnya:
Tags: