Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA
Fokus

Obral Fatwa Dapat Turunkan Wibawa MA

Belakangan ini, MA mengeluarkan beberapa fatwa yang bukan ditujukan pada lembaga tinggi negara. Fatwa bisa dianggap angin lalu jika tidak sesuai dengan keinginan lembaga tinggi negara itu. Namun, seringnya MA mengeluarkan fatwa kepada semua pihak mengesankan obral fatwa dan menurunkan kewibawaan MA.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit

Atau bisa juga karena MA telah memberikan fatwa mengenai satu hal, putusan kasasi atau PK MA mengenai kasus itu jika kasusnya masuk ke pengadilan, tidak akan berani berbeda dengan isi fatwa MA sebelumnya. Walaupun, fakta-fakta di persidangan membuktikan sebaliknya.

Apalagi dalam membuat suatu fatwa, MA tidak memeriksa perkara tersebut seperti layaknya pemeriksaan perkara persidangan. MA hanya mendengar kasus posisi dari satu pihak saja, yaitu pihak yang meminta fatwa.

Jawaban MA terhadap fatwa yang dimintakan oleh kejaksaan tentang Tommy Soeharto menjadi suatu contoh. Bagaimana suatu produk hukum yang tidak jelas aturannya seperti fatwa, bisa bertentangan dengan putusan PK yang merupakan putusan terakhir lembaga peradilan. Putusan PK itu menyatakan bahwa Tommy tidak bersalah.

Tidak jelasnya ketentuan mengenai fatwa dan tidak mengikatnya fatwa tersebut jelas akan mengurangi bobot dari suatu fatwa MA. Seringnya MA mengeluarkan fatwa kepada semua pihak, selain mengesankan obral fatwa jelas akan menurunkan kewibawaan MA.

UU 14 Tahun 1970

Ketua MA Bagir Manan kepada hukumonline menyatakan bahwa MA memberikan fatwa karena ada kebutuhan dari masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Dan MA ingin membantu menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat dengan memberikan fatwa yang diminta itu.

Bagir mengakui bahwa UU no 14 tahun 1985 memang hanya mengatur fatwa pada  lembaga tinggi negara, namun menurutnya UU no 14 Tahun 1970 juga harus diperhatikan.

Bagir mengemukakan bahwa jangan dilihat UU No. 14 tahun 1985-nya. Kalau kita lihat UU No 14 Tahun 1970, menurut Bagir, di situ disebutkan bahwa semua instansi dapat meminta pendapat pengadilan. "Memang dalam UU Nomor 14 tahun 1985 hanya  lembaga tinggi negara, tetapi UU Nomor 14 tahun 1970 lebih lebar, lebih luas. Dan kita ingin menyelesaikan masalah," ujarnya.

Karena itu menurutnya, lembaga lain selain DPRD bisa saja meminta fatwa pada MA. "Tapi kami akan melihat apakah ia mempunyai standing atau tidak. Apakah ia cukup mempunyai kepentingan atau tidak, dan kepentingan apa yang ia wakili," ujar Bagir.

Namun ketika hukumonline melihat UU N.o 14 tahun 1970, Pasal 25 UU itu  menyebutkan bahwa semua pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta.

Jadi, UU No 14 Tahun 1970 pun hanya mengatur mengenai "fatwa" bagi lembaga tinggi negara. Ketika ditanya apakah MA tidak khawatir dianggap mengobral fatwa sehingga dapat menurunkan wibawa MA, Bagir menjawab, "Itu pertanyaan bagus. Karena itu kami sangat selektif. Ratusan fatwa dari mana-mana dimintakan pada saya, dan itu kami tolak. Kalau kita lihat ada kepentingan perundang-undangan dan pemerintahan, baru kami pertimbangkan".

Tags: