Ombudsman Soroti Masalah Penerimaan Siswa Baru
Berita

Ombudsman Soroti Masalah Penerimaan Siswa Baru

Mulai dari penarikan sejumlah uang sampai pemalsuan piagam.

ADY
Bacaan 2 Menit

Budi menjelaskan, banyaknya pengaduan yang masuk dari masyarakat daerah disebabkan oleh kebijakan penerimaan siswa baru di setiap wilayah berbeda-beda. Misalnya, Pemda Yogyakarta menerbitkan kebijakan yang mewajibkan siswa baru yang berasal dari luar Yogyakarta untuk melampirkan ijazah dan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) asli.

Alhasil, mengingat penerbitan SKHUN di tiap daerah berbeda-beda waktunya, maka siswa baru yang berasal dari Jawa Tengah, kesulitan untuk bersekolah di Yogyakarta. Pasalnya, pembagian SKHUN di Jawa Tengah lebih lambat ketimbang Yogyakarta, sedangkan jangka waktu penerimaan siswa baru terbatas. “Akhirnya siswa dari Jawa Tengah tidak bisa mendaftar sekolah di Yogyakarta karena belum mendapat SKHUN,” ucap Budi.

Persoalan lainnya menyangkut sekolah yang menerima siswa baru melebihi kuota yang tersedia. Misalnya, di NTB, kuota untuk menerima siswa baru di sebuah sekolah hanya 100, namun jumlah siswa yang diterima mencapai 200 orang. Ujungnya, kapasitas dan fasilitas sekolah tidak mampu menampung kebutuhan para siswa. Lagi-lagi, Budi melihat hal itu sebagai peluang pihak sekolah untuk mengenakan pungutan kepada siswa dengan dalih menambah kapasitas dan fasilitas sekolah.

Parahnya, pihak yang dilaporkan ke Ombudsman atas bermacam persoalan penerimaan siswa baru itu bukan hanya panitia penerimaan siswa baru, dinas pendidikan dan sekolah, tapi juga komite sekolah. Padahal, Budi melihat sebagaimana PP No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, komite sekolah tak ubahnya parlemen dalam sebuah pemerintahan. Pasalnya, mengacu ketentuan yang ada 50 persen anggota komite merupakan orang tua siswa di sekolah yang bersangkutan, sedangkan sisanya diisi oleh tokoh masyarakat dan pakar pendidikan.

Namun, dari pengaduan yang diterima Ombudsman, komite sekolah menjadi kepanjangan tangan pihak sekolah. Sehingga, komite turut serta melakukan proses tawar-menawar harga antara orang tua siswa baru. Menurut Budi, hal itu terjadi karena amanat PP No.17 Tahun 2010 tidak dijalankan dengan baik. Sehingga keanggotaan komite sekolah tidak sesuai dengan amanat peraturan tersebut. Bahkan, di sebuah daerah Budi mendapat laporan kalau anggota komite terdiri dari para guru. “Komite jadi agen yang bukan mewakili kepentingan orang tua siswa tapi mewakili kepentingan sekolah untuk memungut pungutan liar,” urainya.

Sebagai tindak lanjut untuk memecah persoalan yang ada agar tidak terulang pada penerimaan siswa tahun berikutnya, Budi mengatakan Ombudsman melakukan sejumlah langkah. Seperti pungli, di Sulawesi Selatan kasus itu sudah ditangani Polda. Ketika masuk ranah hukum, tugas Ombudsman adalah melakukan pengawalan sampai adanya putusan dan mengawasi eksekusinya. Untuk kasus kelebihan kuota sekolah atau di Jawa Timur sering disebut pagu liar, Budi mengatakan Ombudsman sampai sekarang masih melakukan investigasi. Terkait kasus piagam dan sertifikat palsu di Jawa Tengah, Budi menyebut Ombudsman sudah menyelesaikannya.

Selain itu, Budi mengatakan dalam waktu dekat akan mengundang pihak terkait, mulai dari sekolah, dinas dan Kemendikbud. Pada kesempatan itu Budi mengaku bakal menyampaikan temuan-temuan Ombudsman di berbagai daerah tentang proses penerimaan siswa baru. Serta para pihak akan diminta komitmennya untuk menuntaskan persoalan yang ada.

Peraturan Menjadi Dalih
Tak ketinggalan Budi menyebut ada dua peraturan saling bertentangan yang diterbitkan pemerintah. Pertama, Permendikbud No.60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada SD dan SMP. Regulasi itu tertanggal 30 Desember 2011. Sayangnya, peraturan yang menurut Budi tergolong bagus untuk mencegah terjadinya pungutan kepada siswa baru dicabut enam bulan kemudian. Yaitu dengan diterbitkannya Permendikbud No.44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Peraturan itu tertanggal 28 Juni 2012.

Mengingat isi dari kedua regulasi itu bertentangan, Budi berpendapat hal itu menjadi pemicu munculnya permasalahan di lapangan dalam proses penerimaan siswa baru. Bahkan, pihak yang melakukan pungutan kepada siswa baru menggunakan Permendikbud No.44 Tahun 2012 sebagai pembenaran atas tindakannya melakukan pungutan. “Seolah mereka punya justifikasi untuk memungut (biaya kepada siswa baru,-red),” tegasnya.

Atas dasar itu dalam pertemuan yang bakal digelar antara Ombudsman dengan Kemendikbud nanti, Budi menilai Permendikbud itu akan menjadi sorotan. Ia pun berjanji akan menanyakan kenapa dua ketentuan itu saling bertentangan serta mendorong pemerintah agar menerbitkan peraturan yang melarang pungutan untuk siswa baru.

Tags: