Ongkos Politik Mahal Biang Kerok Korupsi
Terbaru

Ongkos Politik Mahal Biang Kerok Korupsi

Karena menjadi jalan pintas untuk pejabat publik mencari ongkos tambahan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: Hukumonline
Ilustrasi: Hukumonline

Calon peserta pemilu sedang mempersiapkan diri mengantisipasi tahun politik 2024. Korupsi menjadi persoalan yang tidak dapat lepas dari momen pemilihan umum (Pemilu). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Penyelenggara Negara (PN) untuk tidak tergiur melakukan praktik tindak pidana korupsi dengan pemicunya mahalnya ongkos politik.

"Ongkos politik atau demokrasi kita ketahui sangat mahal tapi kami meminta agar mahalnya biaya politik/demokrasi ini tidak membuat korupsi kian marak,” ujar Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Koordinasi dan Supervisi Wilayah I KPK Maruli Tua, dalam Rapat Koordinasi bertajuk Pemantauan Monitoring Center for Prevention (MCP) 2023, serta Rapat Tematik Aset dan Pendapatan Daerah, Selasa (4/4/2023).

Atas dasar itulah, KPK meminta komitmen kepala daerah beserta  jajaran dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk menjauhi tindak pidana korupsi. Berdasarkan data KPK, kata Maruli, biaya politik calon bupati/wali kota rata-rata mencapai Rp30 miliar. Sementara gaji bupati/wali kota terpilih selama 5 tahun di bawah biaya politik. Begitu pula biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya tidak terhingga alias unlimited.

Kondisi tersebut akhirnya menjadikan korupsi sebagai jalan pintas untuk pejabat publik mencari ongkos tambahan. Misalnya di area pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang rawan terjadinya penggelapan aset akibat pengamanan yang lemah. Bahkan dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) yang rawan suap/gratifikasi proyek. 

Baca juga:

Maruli mengingatkan, dalam pengelolaan keuangan desa agar mengedepankan asas kehatian-hatian dalam tugas Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DMPD) serta perangkat desa. Khususnya dalam mencegah proses mengarahkan anggaran desa untuk proyek dan kerja sama dengan mitra-mitra tertentu dengan menyalahgunakan kewenangan. 

“Area manajemen ASN sangat rentan terjadinya jual beli jabatan dan terjadinya suap/gratifikasi sehingga kami meminta Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) menjadi palang pintu agar tidak terjadinya jual beli jabatan ini dengan pelaksanaan sistem merit. Sebab Area Optimalisasi Pajak Daerah rentan terjadinya penggelapan penerimaan pajak dan suap/gratifikasi,“ tambah Maruli.

Tags:

Berita Terkait