Pakar: Dissenting Wahiduddin Perlihatkan Ada yang Salah dalam Pembentukan UU KPK
Berita

Pakar: Dissenting Wahiduddin Perlihatkan Ada yang Salah dalam Pembentukan UU KPK

Dewan Pengawas KPK mengharapkan kinerja penindakan KPK lebih baik lagi pasca putusan MK soal tindakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK tak perlu lagi izin ke Dewas.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan mantan Pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, dkk. Dalam Putusan No. 79/PUU-XVII/2019 yang dibacakan Rabu (4/5/2021) kemarin, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda).

Beda sikap dengan 8 Hakim Konstitusi lain, Wahiduddin menganggap seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan membatalkan keseluruhan UU No. 19 Tahun 2019 karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan kembali ke UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam pertimbangannya, Wahiduddin menilai beberapa perubahan dalam UU KPK secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat dan momentum spesifik yakni Hasil Pemilu 2019 telah diketahui. Lalu, mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden untuk disahkan Presiden menjadi UU hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019 dan beberapa minggu menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.

Oleh karena RUU ini merupakan usul inisiatif DPR, maka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disiapkan oleh Presiden. “Dengan diperolehnya fakta dari keterangan Pembentuk UU bahwa Raker pertama dilaksanakan tanggal 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.”

“Akselerasi penyusunan DIM oleh Presiden (beserta supporting system yang ada di dalamnya) secara luar biasa ini jelas menyebabkan minimnya masukan masyarakat secara tulus dan berjenjang (bottom up) dan dari para supporting system baik Presiden, DPR, serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU ini (in casu KPK),” ujar Wahiduddin Adams dalam pertimbangan putusan ini.    

Padahal, Pasal 92 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut “Pandangan dan Pendapat Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal RUU diterima Presiden.”

“Saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apapun yang dapat diterima oleh common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM RUU kurang dari 24 jam. Padahal jangka waktu yang dimiliki Presiden melaksanakan itu paling lama 60 hari.”

Tags:

Berita Terkait