Pakar Kritik Penggunaan ‘Surplus DJS’ Agar Iuran JKN Tidak Naik
Berita

Pakar Kritik Penggunaan ‘Surplus DJS’ Agar Iuran JKN Tidak Naik

Jika direksi BPJS Kesehatan menjalankan rekomendasi Komisi IX DPR dengan mengalihkan surplus DJS untuk membayar selisih agar iuran kelas 3 PBPU/BP tidak naik, dapat terancam sanksi administratif.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai kenaikan iuran JKN diatur dalam sejumlah ketentuan, antara lain Pasal 56 ayat (3) UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS. Kemudian ditindaklanjuti peraturan teknis yakni Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Tapi rencana penggunaan surplus untuk membayar sebagian besaran iuran PBPU/BP kelas 3 agar tidak naik, menurut Bayu harus dikaji dan dicermati lebih lanjut apakah melanggar aturan atau tidak.

 

Bayu menjelaskan Pasal 1 angka 8 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial menyebut peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Tidak ada ketentuan yang mengatur apakah iuran bisa berasal dari pengalihan surplus.

 

Lebih lanjut Pasal 17 UU No.40 Tahun 2004 menjelaskan mekanisme pembayaran iuran, misalnya untuk pemberi kerja bertugas memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan sesuai kewajibannya dan membayarkan kepada BPJS Kesehatan. Bagi fakir miskin dan orang tidak mampu iurannya dibayar pemerintah.

 

“Dalam UU No.40 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2011 tidak ada ketentuan yang memberi ruang pengalihan surplus bisa digunakan untuk membayar iuran peserta,” ujar Bayu mengingatkan.

 

Mengutip Pasal 10 UU No.24 Tahun 2011 Bayu menghitung ada 7 tugas BPJS antara lain memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja; menerima bantuan iuran dari pemerintah; dan mengelola DJS untuk kepentingan peserta. Dari 7 tugas itu, Bayu menegaskan tidak ada satu ketentuan yang memerintahkan BPJS membayar selisih iuran peserta agar tidak naik dengan menggunakan surplus DJS.

 

Bayu mengingatkan Pasal 43 ayat (2) merinci penggunaan aset DJS yakni pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan jaminan sosial; dana operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial; dan investasi dalam instrumen investasi sesuai peraturan perundang-undangan. Jika DJS mengalami surplus, mengacu PP No.87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, Bayu mengatakan surplus itu digunakan untuk menambah aset bersih DJS.

 

“Pengalihan surplus untuk membayar selisih iuran kelas 3 PBPU/BP tidak memiliki landasan hukum. Jika ini dilakukan maka BPJS Kesehatan melanggar UU No.40 Tahun 2004, UU NO.24 Tahun 2011, dan PP No.87 Tahun 2013,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait