Pandangan Dua Ahli tentang Pengaturan Berita Bohong
Berita

Pandangan Dua Ahli tentang Pengaturan Berita Bohong

Pendekatan hukum semata tak akan menyelesaikan persoalan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Berbeda dengan Abubakar, akademisi hukum antariksa dan siber Universitas Katholik Atmajaya Jakarta, IBR Supancana mengatakan bahwa dalam penilaian terhadap dampak dari suatu peraturan (regulatory impact assessment), pilihan untuk tidak melakukan apapun bisa menjadi salah satu langkah yang harus dilakukan. Apalagi jika dampak yang ditimbulkan aturan dapat menggangu iklim kemudahan berusaha, merusak kebebasan menyatakan pendapat, atau menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

 

Namun, Supancana melihat fakta tentang masalah over-regulasi. Ia menawarkan jalan lain sebagai langkah untuk menekan peredaran berita bohong di tanah air. Menurut Supancana, paradigma dasar yang telah menjadi kesadaran dan praktik bersama di level global adalah dengan memulai dari jalan yang paling sederhana sebelum parlemen dan pemerintah membuat perundang-undangan.

 

(Baca juga: Begini Modus Penyebaran Hoaks Via Whatsapp)

 

Supancana mendorong identifikasi persoalan mendasar dari mudahnya penyebaran berita bohong. Ini penting sebagai langkah awal mengingat kerangka intervensi pemerintah dalam merespons persoalan haruslah mampu menjadi jalan keluar atas persoalan-persoalan yang sifatnya mendasar. “Apa sih sebetulnya akar masalah dari fake news. Karena yang namanya respon dalam bentuk government intervention itu harus respon terhadap akar masalah bukan hanya respon terhadap fenomena atau kecendrungan (yang ada dimasyarakat),” terang Supancana.

 

Tujuannya, agar langkah pemerintah dalam bentuk intervensi terhadap persoalan sosial di masyarakat berjalan tepat sasaran. Selain itu, Supancana menawarkan langkah yang dapat diambil sebagai bagian dari perbaikan. Caranya, menggali alternatif kebijakan atau jalan keluar lain sebelum mengeluarkan peraturan perundang-undangan.

 

Menurut dia, upaya ini bisa dimulai dengan meningkatkan kesadaran kritis publik terhadap informasi yang diperoleh. Langkah lain adalah melalui pendidikan atau literacy. Setelah itu baru penegakan softlaw seperti kode etik, prinsip-prinsip, atau panduan terhadap semacam tata cara merespon informasi yang diperoleh melalui media online. Jika semua langkah tersebut masih kurang, baru keterlibatan pemerintah lewat regulasi atau legislasi diperlukan.

 

Meski begitu, Supancana menghendaki adanya situasi sebagai prasyarat. Misalnya analisis terhadap biaya dan manfaat yang dimunculkan dari keberadaan pengaturan oleh pemerintah. Memastikan regulasi yang dibuat  dapt dilaksanakan secara efektif, efisien, koheren, dan akses terhadap kepatuhan yang tinggi. Secara tidak langsung Supancana tengah mengingatkan prinsip hukum sebagai ultimum remidium sehingga benar-benar dibutuhkan pada saat-saat terkahir. “Jadi memang tadi, pikiran kritis masyarakat, segala sesuatu yang berkembang di masyarakat itu lebih diperlukan dari pada regulasi. Jadi cenderung etics approach dulu baru law approach,” terang Supancana.

 

Namun bukan berarti tidak ada persamaan sama sekali dari kedua orang guru besar ini dalam melihat tata cara penanganan berita bohong. Terhadap seluruh tahapan yang digambarkan oleh Supancana, Abubakar menjelaskan hal ini dengan diksi rencana aksi. Menurut Abubakar, rencana aksi dimaksud untuk menghadirkan langkah bertahap dan lebih komprehensif. Kata kuncinya antara lain berfikir kritis, digital literacy, atau pelaksanaan training.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait