Pandangan Otto Hasibuan Terkait Kasus Ferdy Sambo
Utama

Pandangan Otto Hasibuan Terkait Kasus Ferdy Sambo

“Saya minta teman-teman untuk jangan dulu menyimpulkan apa yang terjadi, kita tunggu akhir dari ‘pertandingan’ nanti di pengadilan. Baru itulah keadilan yang akan kita lihat.”

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

“Tetapi masyarakat Indonesia sudah sampai pada kesimpulan. Tidak ada lagi presumption of innocence. Kenapa? Mungkin karena kebencian kita kepada kejahatan yang terjadi, saya hanya bisa maklum. Tapi sebagai seorang akademisi, seorang lawyer, tidak boleh seperti itu. Kita harus berpikir kritis. Saya minta teman-teman untuk jangan dulu menyimpulkan apa yang terjadi, kita tunggu akhir dari ‘pertandingan’ ini nanti di pengadilan. Baru itulah keadilan yang akan kita lihat.”

Ia menegaskan keadilan adalah jiwa dari kehidupan manusia. Oleh karenanya, keadilan harus ditegakkan tanpa terkecuali dalam kasus ini. Namun, Otto melihat banyak sekali pendapat yang bermunculan atas kasus penembakan yang terjadi. Salah satunya ada yang mengatakan Bharada E bisa bebas karena melaksanakan perintah jabatan, bahkan banyak komentator mengatakan itu bisa karena melaksanakan perintah atasan. Atas komentar yang dilontarkan sejumlah pihak itu, Otto memiliki pendapat yang berbeda.

“Ada 2 hal yang bisa meniadakan penghapusan tuntutan. Pertama, orang yang melaksanakan perintah UU itu sesuai Pasal 50 KUHP. Kedua, orang yang melaksanakan perintah jabatan. Ingat, bukan perintah Sambo, tapi perintah jabatan,” tegasnya.

Pasal 50 KUHP berbunyi, 'Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana'. Dalam hal ini, Otto melihat Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri tidak pernah diberikan oleh UU atau kekuasaan yang berwenang untuk melakukan pembunuhan, karena Sambo tidak punya kewenangan yang diberikan oleh kekuasaan yang sah untuk melakukan itu. Lain halnya, jika sebagai Panglima di tengah peperangan yang mempunyai kewenangan untuk menembak orang.

Selanjutnya Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi, 'Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana'.  Otto mengingatkan adanya Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menegaskan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang tidak kemudian dapat menyebabkan hapusnya pidana. Kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

“Jadi kalau dia (Bharada E) sebagai ajudan Kadiv Propam, ruang lingkup tugasnya tidak ada untuk menembak orang, bukan lingkup dia. Kalau atas dasar diancam, dipaksa, itu lain soal. Tapi kalau atas perintah jabatan, menurut saya kurang tepat.”

Otto mengaku prihatin dan turut berduka atas kematian Brigadir J. Meski begitu, ia mengingatkan penting untuk tetap menjaga hukum jangan sampai dirusak. “Kita lihat perkara ini secara objektif, kalau memang ada hal lain yang harus dibongkar itu soal lain. Tapi kembali lagi, yang paling penting dalam kasus ini bagaimana kita bisa ketahui yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini. Kalau dia melakukan pembunuhan itu seperti itu, maka biarlah dihukum sesuai hukuman yang seharusnya. Itu intinya.”

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS) sekaligus mantan Hakim Agung (masa bakti 2011-2018) Prof T Gayus Lumbuun menyampaikan bahwa kasus Sambo merupakan isu besar yang memberi implikasi berbagai pihak baik masyarakat sampai dengan Institusi Kepolisian RI. Wajar, meningkatnya suara penuntutan hak dan keadilan untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas.

“Ditetapkannya FS sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J berpotensi dihukum berat dari hukuman 20 tahun penjara , seumur hidup, hingga hukuman mati,” katanya.

Tags:

Berita Terkait