Pandemi dan Refleksi Perkuliahan Hukum
Kolom

Pandemi dan Refleksi Perkuliahan Hukum

​​​​​​​Pandemi dan perkuliahan secara daring memberi kesempatan untuk berefleksi terhadap kegiatan belajar mengajar yang terjadi di kelas selama ini, dan kesempatan untuk menggali cara-cara baru.

Bacaan 7 Menit

Ceramah sebagai salah satu metode belajar sebenarnya bukanlah metode yang buruk. Ceramah menjadi bermasalah ketika ceramah dimaknai sebatas kegiatan menyampaikan informasi kepada mahasiswa, yang dianggap sebagai penerima informasi yang pasif dan tidak tahu apa-apa.

Ceramah juga bisa bermasalah ketika dijadikan satu-satunya metode untuk mencapai seluruh tujuan. Meski berguna, berbagai penelitian menunjukkan bahwa ceramah bukan merupakan metode yang paling cocok untuk melatih higher level thinking skills, seperti analisis, aplikasi dan evaluasi, atau untuk mengajarkan tentang nilai-nilai. Hal-hal yang tentunya menjadi salah satu kompetensi yang hendak dicapai di sekolah hukum. Karena itu, pengajar perlu memilih metode yang cocok untuk setiap tujuan yang ingin dicapai.

Ini berbeda dengan ceramah/kuliah partisipatif (engaged lecturing) yang juga diulas oleh Rochette. Dalam engaged lecturing, pengajar berkomitmen untuk melibatkan mahasiswa agar terjadi suatu dialog yang bisa membawa perubahan konseptual. Pengajar tidak berasumsi bahwa mahasiswa adalah gelas kosong yang harus diisi. Mahasiswa dianggap mempunyai pemahaman/konsepsi mereka sendiri sehingga peran pengajar adalah sebagai fasilitator. Mahasiswa difasilitasi oleh pengajar untuk secara aktif berefleksi dan menyediakan cara-cara untuk membantu mahasiswa meningkatkan pemahaman mereka.

Ada beberapa hal yang sering dituding sebagai penyebab ceramah jadi satu-satunya metode yang digunakan di sekolah hukum. Pertama, kelas yang besar dengan jumlah mahasiswa yang terlalu banyak. Ketika jumlah mahasiswa dalam satu kelas sangat banyak, sulit bagi pengajar untuk menggunakan metode selain ceramah satu arah. Kedua, seperti juga disampaikan Hikmahanto, adanya persepsi di kalangan pengajar bahwa mahasiswa tidak punya motivasi dan keinginan untuk bertanya. Ketiga, pengajar semata tidak punya referensi metode lain selain ceramah satu arah yang telah turun temurun digunakan oleh pengajar pendahulu mereka.

Mengenai persepsi bahwa mahasiswa tidak mempunyai motivasi dan keinginan untuk bertanya, penulis punya catatan berbeda. Memang mungkin saja benar bahwa sebagian mahasiswa di Indonesia kurang dibiasakan sejak pendidikan dasar untuk menyampaikan pendapat mereka di kelas. Namun demikian, bila diciptakan lingkungan yang mendukung, maka mahasiswa akan berpatisipasi aktif di kelas.

Lesley Wilcoxson, dikutip oleh Rochette, menyampaikan bahwa ada lingkaran setan (vicious cycle) antara persepsi pengajar terhadap siswa, pendekatan pengajaran yang mereka lakukan, metode evaluasi, dan perilaku siswa.

Wilcoxson menggambarkan bahwa lingkaran ini berawal dari anggapan pengajar bahwa siswa tidak mempunyai kemauan untuk bertanya, sehingga mereka mendesain kuliahnya dengan menyediakan seluruh jawaban, dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk bertanya. Siswa kemudian menganggap bahwa bertanya tidaklah disarankan/didorong, dan akhirnya enggan bertanya dan hanya mencatat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait