Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?
Kolom

Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?

Hukumonline menurunkan artikel berjudul "Modus Operandi Cybercrime Makin Canggih" pada 3 Januari 2003. Pada artikel tersebut tertulis: "…Satu hal yang bisa dipastikan menerima dampak dari penggunaan media khusus ini adalah alat bukti yang digunakan untuk pembuktian di muka persidangan. Pada sebagian besar kasus yang terjadi, jangan harap ditemukannya alat bukti tertulis--surat dalam arti konvensional--seperti yang disyaratkan oleh Pasal 184 KUHAP.

Bacaan 2 Menit

Pertama, kejahatan kartu kredit. Pada kejahatan ini, biasanya cara yang dilakukan oleh pelaku adalah pelaku mencari kode akses atas kartu kredit seseorang, baik dengan cara 'menjebol' suatu situs yang menyimpan kode-kode akses kartu kredit maupun mendapatkannya dari situs yang dengan sengaja menginformasikan kode-kode akses kartu kredit (disinyalir saat ini banyak situs seperti ini di internet). Kemudian setelah mendapat kode akses tersebut, ia pergunakan untuk membeli sesuatu di internet tanpa seijin maupun sepengetahuan si pemilik kartu kredit tersebut.

Misalnya cara pertama yang dilakukan oleh pelaku, hal ini bukan berarti kasus ini tidak dapat diajukan ke pengadilan dengan alasan KUHAP tidak mengakui alat bukti elektronik/digital. Pada kasus ini, ada dugaan kalangan yang 'pro' alat bukti elektronik akan mengatakan bahwa yang akan menjadi alat bukti adalah sistem komputer yang digunakan oleh pelaku, sistem komputer yang dijebol, maupun data elektronik yang menyatakan bahwa telah terjadi pembelian suatu barang atas kartu kredit x.

Apabila dugaan tersebut benar, pertanyaannya adalah barang hasil kejahatan tersebut--misalnya sebuah buku--akan dipergunakan sebagai apa di pengadilan? Bukankah barang tersebut merupakan satu-satunya bukti yang 'nyata'? Apabila dikatakan bahwa barang tersebut menjadi barang bukti, lalu mengapa kita tidak juga mengatakan bahwa sistem-sistem yang digital--yang katanya maya tersebut-- sebagai barang bukti bukan alat bukti? Bukankah kita dapat mempersamakan sistem komputer yang digunakan oleh pelaku tersebut seperti alat yang digunakan pencuri untuk menjebol rumah? Bukankah kita juga bisa mempersamakan sistem komputer yang dijebol  tersebut seperti pintu yang dirusak oleh pencuri tersebut?

Contoh lain, kejahatan yang dilakukan dengan cara membuat serta menyebarluaskan virus komputer. Pihak yang 'pro' alat bukti digital tersebut mungkin akan berpendapat bahwa yang akan menjadi alat bukti adalah virus komputer itu sendiri yang merupakan suatu program komputer serta sistem atau program komputer yang rusak akibat virus komputer tersebut. Sekali lagi, penulis tidak menutup kemungkinan bahwa secara materil memang dibutuhkan hukum materil yang mengatur mengenai cybercrime atau computer crimes.

Pada kejahatan virusing ini, memang semuanya sepertinya digital. Akan tetapi, bukan berarti kita membutuhkan alat bukti elektronik untuk dapat menjerat pelakunya. Apabila kita persamakan kejahatan virusing ini dengan kejahatan 'konvensional'--yaitu perusakan barang milik orang lain--maka virus komputer itu bisa kita persamakan seperti alat yang digunakan oleh pelaku untuk merusak barang milik orang lain. Kita juga bisa mempersamakan sistem komputer yang rusak akibat virus tersebut seperti barang yang dirusak oleh pelaku dengan menggunakan alat tersebut. Dan, kedua barang tersebut tentunya bisa menjadi barang bukti bukan alat bukti.

Dan seperti juga pada kejahatan 'konvensional', yang diperlukan untuk pembuktian adalah surat dari pejabat yang berwenang, baik itu penyidik, penuntut umum, maupun ahli yang menyatakan bahwa benar barang-barang tersebut adalah benda yang dipergunakan, akibat maupun hasil dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, serta surat dari penyidik/penuntut umum yang berisi kesimpulan atas pemeriksaan yang dilakukan atas dugaan terjadinya tindak pidana atau yang lebih dikenal dengan Berita Acara.

Surat-surat inilah yang nantinya akan menjadi alat bukti di pengadilan. Mungkin kita memang membutuhkan pengakuan atas alat bukti elektronik. Tapi suatu hari nanti, ketika memang sudah tidak ada lagi pohon untuk dijadikan kertas, sehingga Berita Acara maupun Visum et Repertum tidak lagi ditulis di atas kertas tapi disket.

 

Arsil adalah peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), pernah bekerja di Lembaga Kajian Hukum & Teknologi (LKHT) FHUI.

 

Tags: