Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?
Kolom

Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?

Hukumonline menurunkan artikel berjudul "Modus Operandi Cybercrime Makin Canggih" pada 3 Januari 2003. Pada artikel tersebut tertulis: "…Satu hal yang bisa dipastikan menerima dampak dari penggunaan media khusus ini adalah alat bukti yang digunakan untuk pembuktian di muka persidangan. Pada sebagian besar kasus yang terjadi, jangan harap ditemukannya alat bukti tertulis--surat dalam arti konvensional--seperti yang disyaratkan oleh Pasal 184 KUHAP.

Bacaan 2 Menit
Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?
Hukumonline

"Jika pun mau dianggap surat elektronik (e-mail) dan rekaman digital lainnya sebagai alat bukti tertulis dalam pembuktian di persidangan, mungkin masih diperlukan keterangan saksi ahli untuk menentukan kelayakan alat bukti tersebut. Dengan perkembangan teknologi yang pesat, dikhawatirkan tidak ada saksi ahli yang bisa mengikuti perkembangan tersebut. Akibatnya, wajar jika mengemuka pendapat bahwa aturan tersebut sudah tidak memadai lagi."

Dalam kutipan artikel (http://www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=7136), menarik untuk dicermati apa maksud dari argumentasi yang mengatakan bahwa pada sebagian besar kasus yang terjadi (cybercrime) jangan harap ditemukannya alat bukti tertulis (surat dalam arti konvensional), seperti yang disyaratkan oleh Pasal 184 KUHAP.

Yang bisa ditangkap dari argumentasi tersebut adalah pertama, 'alat bukti' yang tersedia dalam perkara-perkara cybercrime adalah berbentuk data elektronik atau digital. Kedua, data elektronik atau digital tersebut tidak diakui oleh KUHAP sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan. Ketiga,  untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana yang menggunakan komputer, maka KUHAP perlu memasukan data elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah.

Bukan argumentasi baru

Argumentasi seperti di atas sebenarnya bukan merupakan argumentasi yang baru dalam wacana mengenai cyberlaw, khususnya cybercrime. Bahkan, bisa dikatakan bahwa argumentasi atau cara pandang tersebut merupakan cara pandang yang umum berkembang di masyarakat. Agar lebih mudah dipahami, ada beberapa contoh ilustrasi tindak pidana--yang katanya--'konvensional'. Dan dari ilustrasi tersebut, akan coba dikaitkan dengan cara pandang di atas.

Ilustrasi pertama, misalkan A mencuri sebuah rumah. Untuk dapat menjalankan niatnya tersebut, A membongkar pintu rumah tersebut dengan menggunakan linggis atau alat lainnya. Ketika A selesai melaksanakan niatnya tersebut, A tertangkap oleh polisi yang kebetulan lewat dan kemudian perkara tersebut diajukan ke pengadilan.

Ilustrasi kedua, misalkan X merupakan seorang pengusaha kaya dan B adalah seorang jagoan yang ditakuti di daerahnya. Tergoda untuk mendapatkan uang dengan cara cepat, B mengirim surat yang berisi ancaman kepada X. Ancamannya, apabila X tidak memberikan sejumlah uang kepada B, maka B mengancam akan membunuh X beserta keluarganya. Mendapat surat ancaman tersebut, kemudian X melaporkan hal tersebut ke polisi. Berdasarkan laporan X tersebut, kemudian polisi menangkap B dengan alasan telah melakukan tindak pidana pemerasan.

Ilustrasi ketiga, misalkan C adalah seorang pembuat majalah porno ilegal. Suatu ketika, majalah hasil perbuatan C tersebut ketahuan oleh kepolisian. Kemudian, polisi menyita majalah-majalah tersebut.

Alat-alat bukti

Dari ilustrasi-ilustrasi di atas, penulis mencoba menggunakan cara berfikir pihak yang berargumentasi bahwa Pasal 184 KUHAP tidak cukup memadai untuk menjerat pelaku cybercrime. Pasalnya, 'alat-alat bukti' yang berkaitan dengan kejahatan yang mereka lakukan tidak dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan- untuk ketiga contoh kasus di atas.

Berdasarkan cara berfikir di atas, seharusnya yang menjadi alat bukti yang diajukan penuntut di persidangan pada ilustrasi I adalah linggis yang dipergunakan untuk membuka pintu rumah yang dicuri oleh A. Pada ilustrasi II, yang seharusnya menjadi alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum adalah surat B kepada Mr. Y yang berisi rencana pembunuhan. Dan pada ilustrasi III, yang seharusnya menjadi alat bukti adalah majalah porno produksi C. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Pasal 184 (1) KUHAP juga memuat linggis, surat seperti surat B kepada Mr. Y, dan majalah atau gambar porno?

Kalau kita lihat dari Pasal 184 (1) KUHAP tersebut yang dimaksud dengan alat bukti adalah: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.

Berdasarkan ketentuan mengenai alat bukti yang sah tersebut, coba kita cocokan dengan ketiga 'alat bukti' tersebut untuk melihat apakah ketiga 'alat bukti' tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Pertama, keterangan saksi. Pada Pasal 1 angka 27 disebutkan bahwa keterangan saksi adalah& keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, tentunya ketiga 'alat bukti' tersebut tidak dapat disebut sebagai keterangan saksi.

Kedua, keterangan ahli. Pasal 1 angka 27 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Apakah linggis termasuk dalam kategori ini? Tentunya tidak.

Ketiga, surat. Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

- berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang& yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri&

- surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya&

- surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya&

- surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya linggis maupun majalah/gambar porno tidak termasuk dalam kriteria tersebut. Mungkin kita masih bisa berargumentasi panjang mengenai surat seperti dalam ilustrasi II apakah termasuk dalam kategori alat bukti surat atau tidak. Karena pada bagian penjelasan KUHAP, tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan surat lain seperti yang dinyatakan dalam pasal 187 huruf d tersebut.

Akan tetapi, beberapa ahli--seperti Prof. Wirjono P. dalam bukunya Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Dr. Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia--menyiratkan bahwa yang dimaksud dengan surat lain seperti dalam ketentuan di atas lebih mengarah pada akta di bawah tangan seperti yang terdapat dalam Hukum Perdata. Dengan demikian, surat ancaman--seperti dalam ilustrasi II--menurut pendapat saya, jauh dari pengertian ini.

Keempat, petunjuk. Pasal 188 (1) KUHAP mengatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini, tentunya linggis, surat ancaman, dan majalah/gambar porno tidak dapat dianggap termasuk dalam alat bukti petunjuk ini.

Kelima, keterangan terdakwa. Pasal 189 (1) mengatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, jelas bahwa linggis, surat ancaman, maupun majalah/gambar porno tidak termasuk dalam alat bukti keterangan terdakwa.

Dari uraian di atas, bisa kita lihat ternyata ketiga 'alat bukti' tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah di muka persidangan. Kalau demikian, apakah hal itu berarti ketiga kejahatan tersebut tidak dapat dibuktikan karena KUHAP ternyata juga tidak mengakui ketiga benda tersebut sebagai alat bukti yang sah?

Sampai di sini, tentunya pembaca akan mengatakan bahwa tentunya tidak tepat apabila penuntut umum menjadikan ketiga benda tersebut sebagai alat bukti di persidangan. Pasalnya, ketiga benda tersebut lebih tepat dijadikan barang bukti bukan alat bukti. Dan dalam prakteknya, memang benda-benda seperti itu oleh penuntut umum dijadikan sebagai barang bukti.

Mengenai barang bukti, memang KUHAP tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun, hanya menyebutkan dalam penjelasan Pasal 46 (1) KUHAP bahwa benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Akan tetapi apabila kita tafsirkan bahwa barang bukti adalah segala benda yang dapat disita oleh negara, maka menurut Pasal 39 (1) KUHAP yaitu:

- benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

-  benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

-  benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

-  benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;

- benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan;

Belum ada istilah baku

Sekarang, marilah mengaitkannya dengan tindak pidana-tindak pidana yang selama ini disebut dengan istilah cybercrime. Tampaknya, perlu dibatasi permasalahan pada sisi pembuktian semata, tanpa menutup kemungkinan apakah dari sisi hukum materil KUHP telah memadai atau tidak guna menjerat pelaku cybercrime.

Mengenai apa yang dimaksud dengan cybercrime sendiri saat ini memang masih belum ada definisi yang baku. Hal ini disebabkan karena istilah tersebut memang bukan (paling tidak belum menjadi) istilah hukum, khususnya hukum pidana. Bahkan, istilah cybercrime itu sendiri bisa dibilang juga merupakan istilah yang relatif baru. Beberapa tahun yang lalu, sebelum istilah cyberspace populer, orang lebih mengenal jenis kejahatan ini dengan istilah computer crime. Untuk itu,  ada beberapa contoh-contoh dari kasus-kasus yang sering terjadi.

Pertama, kejahatan kartu kredit. Pada kejahatan ini, biasanya cara yang dilakukan oleh pelaku adalah pelaku mencari kode akses atas kartu kredit seseorang, baik dengan cara 'menjebol' suatu situs yang menyimpan kode-kode akses kartu kredit maupun mendapatkannya dari situs yang dengan sengaja menginformasikan kode-kode akses kartu kredit (disinyalir saat ini banyak situs seperti ini di internet). Kemudian setelah mendapat kode akses tersebut, ia pergunakan untuk membeli sesuatu di internet tanpa seijin maupun sepengetahuan si pemilik kartu kredit tersebut.

Misalnya cara pertama yang dilakukan oleh pelaku, hal ini bukan berarti kasus ini tidak dapat diajukan ke pengadilan dengan alasan KUHAP tidak mengakui alat bukti elektronik/digital. Pada kasus ini, ada dugaan kalangan yang 'pro' alat bukti elektronik akan mengatakan bahwa yang akan menjadi alat bukti adalah sistem komputer yang digunakan oleh pelaku, sistem komputer yang dijebol, maupun data elektronik yang menyatakan bahwa telah terjadi pembelian suatu barang atas kartu kredit x.

Apabila dugaan tersebut benar, pertanyaannya adalah barang hasil kejahatan tersebut--misalnya sebuah buku--akan dipergunakan sebagai apa di pengadilan? Bukankah barang tersebut merupakan satu-satunya bukti yang 'nyata'? Apabila dikatakan bahwa barang tersebut menjadi barang bukti, lalu mengapa kita tidak juga mengatakan bahwa sistem-sistem yang digital--yang katanya maya tersebut-- sebagai barang bukti bukan alat bukti? Bukankah kita dapat mempersamakan sistem komputer yang digunakan oleh pelaku tersebut seperti alat yang digunakan pencuri untuk menjebol rumah? Bukankah kita juga bisa mempersamakan sistem komputer yang dijebol  tersebut seperti pintu yang dirusak oleh pencuri tersebut?

Contoh lain, kejahatan yang dilakukan dengan cara membuat serta menyebarluaskan virus komputer. Pihak yang 'pro' alat bukti digital tersebut mungkin akan berpendapat bahwa yang akan menjadi alat bukti adalah virus komputer itu sendiri yang merupakan suatu program komputer serta sistem atau program komputer yang rusak akibat virus komputer tersebut. Sekali lagi, penulis tidak menutup kemungkinan bahwa secara materil memang dibutuhkan hukum materil yang mengatur mengenai cybercrime atau computer crimes.

Pada kejahatan virusing ini, memang semuanya sepertinya digital. Akan tetapi, bukan berarti kita membutuhkan alat bukti elektronik untuk dapat menjerat pelakunya. Apabila kita persamakan kejahatan virusing ini dengan kejahatan 'konvensional'--yaitu perusakan barang milik orang lain--maka virus komputer itu bisa kita persamakan seperti alat yang digunakan oleh pelaku untuk merusak barang milik orang lain. Kita juga bisa mempersamakan sistem komputer yang rusak akibat virus tersebut seperti barang yang dirusak oleh pelaku dengan menggunakan alat tersebut. Dan, kedua barang tersebut tentunya bisa menjadi barang bukti bukan alat bukti.

Dan seperti juga pada kejahatan 'konvensional', yang diperlukan untuk pembuktian adalah surat dari pejabat yang berwenang, baik itu penyidik, penuntut umum, maupun ahli yang menyatakan bahwa benar barang-barang tersebut adalah benda yang dipergunakan, akibat maupun hasil dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, serta surat dari penyidik/penuntut umum yang berisi kesimpulan atas pemeriksaan yang dilakukan atas dugaan terjadinya tindak pidana atau yang lebih dikenal dengan Berita Acara.

Surat-surat inilah yang nantinya akan menjadi alat bukti di pengadilan. Mungkin kita memang membutuhkan pengakuan atas alat bukti elektronik. Tapi suatu hari nanti, ketika memang sudah tidak ada lagi pohon untuk dijadikan kertas, sehingga Berita Acara maupun Visum et Repertum tidak lagi ditulis di atas kertas tapi disket.

 

Arsil adalah peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), pernah bekerja di Lembaga Kajian Hukum & Teknologi (LKHT) FHUI.

 

Tags: