Pasal Advokat Curang Masuk 14 Materi Kontroversial RUU KUHP
Utama

Pasal Advokat Curang Masuk 14 Materi Kontroversial RUU KUHP

Dari 14 materi RUU KUHP yang kontroversial ada yang dipertahankan, sebagian pasal diubah, diberi penjelasan, dan dihapus.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

RUU KUHP hampir disahkan pada September 2019 lalu, tapi akhirnya pemerintah memutuskan untuk menunda karena banyak penolakan dari kalangan masyarakat sipil. Penolakan masyarakat sipil terkait sejumlah isu dalam RUU KUHP, seperti pasal penghinaan presiden atau pemerintah, pasal-pasal kesusilaan, contempt of court, hingga pasal-pasal yang memasung kebebasan berekspresi.       

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Prof Marcus Priyo Gunarto, mencatat setidaknya ada 14 isu RUU KUHP yang selama ini mendapat sorotan masyarakat. Pertama, Pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. RUU KUHP mengubahnya menjadi delik aduan, dan pasal ini masih dibutuhkan untuk melindungi Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara.

Marcus menjelaskan ada ketentuan serupa yang melindungi Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara sahabat yakni pidana bagi pihak yang melakukan penghinaan. Karena itu, wajar jika Presiden dan Wakil Presiden dilindungi dari penghinaan. Dia juga mengingatkan ada asas kewibawaan yaitu penghormatan terhadap Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara. Pasal ini tidak ditujukan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.

Kedua, Pasal 252 RUU KUHP atau dikenal dengan istilah pasal santet. Pasal ini menyasar setiap orang yang menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib dan menawarkan jasa kepada orang lain dimana tindakannya itu dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik. Marcus mengatakan pasal ini tetap dipertimbangkan masuk RUU KUHP karena untuk mencegah terjadinya kejahatan baru dan timbulnya korban.

Ketiga, Pasal 276 RUU KUHP, terkait dokter atau dokter gigi yang menjalankan pekerjaannya tanpa izin. Kalangan kedokteran mengusulkan ketentuan ini dihapus karena sudah diatur dalam Pasal 76 UU Praktik Kedokteran. Keempat, Pasal 278-279 tentang unggas atau ternak yang masuk lahan yang sudah ditaburi benih. Marcus mengatakan ketentuan ini dirasa masih diperlukan petani. Tapi karena menimbulkan kontroversi, maka ketentuan ini ditambahkan frasa “yang menimbulkan kerugian”.

“Ini bukan hanya merusak secara materil, tapi (mensyaratkan unsur, red) telah menimbulkan kerugian,” kata Prof Marcus dalam acara bertajuk “Diskusi Publik RUU Hukum Pidana” yang digelar secara daring dan luring di Hotel JS Luwansa Jakarta, Senin (14/6/2021). (Baca Juga: 10 Hal Penting dalam RUU KUHP)

Kelima, Pasal 281 RUU KUHP atau dikenal dengan pasal contempt of court. Marcus memaparkan pasal ini menimbulkan persoalan bagi jurnalis yang bertugas meliput persidangan karena dapat dipidana jika tanpa izin pengadilan untuk merekam dan mempublikasi langsung proses persidangan. Pasal ini tetap dipertahankan, tapi ada tambahan dalam penjelasan yang dimaksud dengan publikasi secara langsung, seperti live streaming, dan audio visual tidak diperkenankan. Hal ini perlu diatur untuk menjaga agar pengadilan dapat menangani perkara secara obyektif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait