'Pasal Penghinaan Masih Sejalan Dengan Konstitusi'
Berita

'Pasal Penghinaan Masih Sejalan Dengan Konstitusi'

Pihak pemerintah menilai tidak logis jika pidana penjara dihapus tetapi normanya tetap ada. Masak harga diri bangsa Indonesia cuma Rp 4500 perak,

Ali
Bacaan 2 Menit
'Pasal Penghinaan Masih Sejalan Dengan Konstitusi'
Hukumonline

 

Mudzakkir juga mengungkapkan dipertahankannya pasal penghinaan dalam revisi KUHP ini karena mengacu kepada budaya dan hukum adat. Dalam konteks masyarakat adat Indonesia, fitnah dianggap sebagai pidana berat, tuturnya. Ia mencontohkan budaya siri di Makassar. Selain budaya dan adat, lanjut Mudzakkir, ajaran agama Islam pun mengenal nilai-nilai yang sama Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, ujarnya.   

 

Mudzakkir boleh saja berargumen bahwa pasal penghinaan itu memang ditujukan untuk melindungi hak konstitusional orang lain. Namun, pemohon justru menganggap pasal penghinaan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yang menjadi cantelan permohonan adalah Pasal 28E ayat (3). Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.  

 

Para pemohon, baik Bersihar Lubis maupun Risang Bima Wijaya memang mengakui hak mengeluarkan pendapatnya terancam dengan pasal penghinaan tersebut.

 

Dalam permohonannya, pemohon menyatakan penggunaan kalimat atau kata dalam menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan maupun tulisan akan selalu berkembang. Karenanya, kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa lalu sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina pada masa sekarang. Begitu pula kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa sekarang sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina di masa depan. 

 

Kedua belah pihak, baik Mudzakkir (pemerintah) dan pemohon memang sama-sama mengacu pada konstitusi untuk memperkuat argumennya. Masing-masing pun menilai akan adanya hak konstitusional yang dilanggar bila pasal penghinaan ini berlaku atau dihapuskan. Tapi perlu disimak Pasal 28J UUD 1945 yang berfungsi untuk membatasi kedua pasal yang didalilkan tersebut. Tinggal bagaimana menunggu sikap para hakim konstitusi. Pasal yang mana dari kedua pasal tersebut yang bisa dibatasi oleh Pasal 28J itu. 

 

Anggota Dewan Pers Bambang Harimurti tergelitik soal argumen Mudzakkir yang mengakomodasi hukum adat untuk mempertahankan pasal penghinaan. Kalau ada hukum adat yang menyarankan membunuh sebagai balas dendam, apakah kita perlu akomodir juga? sindirnya.

 

Menakar Harga Diri

Meski telah membahas lengkap soal norma dalam pasal penghinaan itu, Mudzakkir perlu menyimak dengan teliti substansi permohonan yang diajukan. Sejatinya, terkait pasal penghinaan, pemohon hanya meminta MK memutus sanksi pidana penjara dalam pasal tersebut saja. Bukan mempersoalkan norma.

 

Bahwa meski pemohon I juga menyadari bahwa kehormatan dan nama baik seseorang tetaplah patut untuk dijaga dan dihormati, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) ICCPR, namun penggunaan penjara adalah berlebihan dan sewenang-wenang, ucap kuasa hukum pemohon dari LBH Pers, Anggara beberapa waktu lalu.

 

Mudzakkir menilai permohonan ini tak lazim. Kalau sanksi penjaranya saja dihapus, sementara normanya tidak (sengaja ditinggalkan,-red) itu tidak logis, tuturnya. Ia memang mengaku masih ada denda yang tersisa. Tapi jumlahnya tidak terlalu besar. Masak harga diri bangsa Indonesia cuma Rp 4500 perak, tuturnya.

 

Anggara buru-buru meralat. Harga diri bangsa Indonesia bisa mencapai Rp1 milyar, ujarnya. Yang dimaksud Anggara adalah perkara yang menimpa Khoe Seng Seng. Pria keturunan Tionghoa ini dihukum membayar satu miliar dalam perkara perdata. Khoe Seng dianggap telah mencemarkan nama baik Duta Pertiwi melalui surat pembaca yang dibuatnya. Kebetulan, Khoe Seng juga hadir sebagai saksi dalam persidangan di MK ini.

Sidang pengujian sejumlah pasal penghinaan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terus berlanjut. Agenda sidang sudah memasuki mendengarkan keterangan pemerintah, para ahli, saksi dan pihak terkait. Dari pihak pemerintah, hadir Anggota Tim Revisi KUHP Mudzakkir. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) ini memaparkan dengan jelas mengenai delik penghinaan dan rencana revisi KUHP ke depan.

 

Mudzakkir mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan langkah pemohon yang mengajukan judicial review terhadap sejumlah pasal penghinaan dalam KUHP. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 207, Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), serta Pasal 316 KUHP. Ia menegaskan pasal-pasal tersebut masih dibutuhkan untuk menjamin perlindungan terhadap hak konstitusional orang lain, dalam hal ini orang yang dihina.

 

Hak konstitusional orang yang dihina tersebut dijamin dalam Pasal 28G UUD 1945. Mudzakkir menjelaskan pasal tersebut bertujuan untuk melindungi nama baik dan kehormatan orang lain. Rumusan delik bertujuan untuk melindungi hak konstitusional tersebut, tegasnya di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/6).  

 

Pasal 28G ayat (1) memang menyatakan Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sedangkan ayat (2) berbunyi Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

 

Berdasarkan argumen tersebut, Mudzakkir menegaskan pasal penghinaan tersebut masih akan diatur dalam revisi KUHP. Ia mengungkapkan mayoritas anggota perumus yang masuk tim tersebut sepakat dengan pemberlakuan pasal penghinaan ini. Materi ini sudah dibahas di Depkumham, tapi tak ada perdebatan serius karena semua sudah sepakat, tuturnya.

Tags: