Pasien Cuci Darah Minta MA Batalkan Perpres Kenaikan Iuran JKN
Utama

Pasien Cuci Darah Minta MA Batalkan Perpres Kenaikan Iuran JKN

Kebijakan itu berdampak serius bagi pasien cuci darah yang kurang mampu dan tidak bisa mengurus Penerima Bantuan Iuran. Resikonya, mereka akan menunggak bila iuran dinaikkan 100 persen. Menunggak sama saja berpotensi mengancam nyawa mereka karena terhenti pelayanan terapi cuci darahnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Rusdi, Perpres No. 75 Tahun 2019 sebagai kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada 2020 tanpa dasar yang jelas dan perhitungan yang logis. Jika alasannya hanya untuk menutupi kerugian yang terjadi akibat kesalahan dan kelalaian dalam tata kelola penyelenggaraan BPJS. “Kenapa masyarakat kelas menengah ke bawah yang dibebani yang justru masih memiliki daya beli rendah?”

 

“Seharusnya pemerintah bertindak lebih bijak, dimana anggaran kesehatan yang mendapat porsi sebesar minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat lebih diprioritaskan untuk pelayanan kesehatan masyarakat guna mengurangi beban rakyat.”

 

Keberatan

Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir keberatan atas kebijakan pemerintah yang menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen untuk peserta BPJS mandiri semua kelas yang secara ekonomi kurang mampu. “Kami ingin menyampaikan kebijakan itu juga mempunyai dampak serius bagi pasien cuci darah yang kurang mampu, tapi tidak bisa mengurus PBI (Penerima Bantuan Iuran),” keluhnya.

 

Menurut Tony, umumnya produktivitas pasien gagal ginjal mengalami penurunan karena 1-2 minggu sampai tiga kali harus cuci darah. Belum lagi, banyak diantara mereka mengalami PHK karena sering tidak masuk kerja. Sedangkan yang belum bekerja akan sulit memasuki dunia kerja.

 

“Kebanyakan mereka peserta BPJS Kesehatan mandiri, kesulitan mengurus PBI di Dinas Sosial. Resikonya, mereka akan menunggak bila iuran dinaikkan 100 persen. Menunggak sama saja berpotensi mengancam nyawa mereka karena terhenti pelayanan terapi cuci darahnya,” tuturnya.

 

Dia menegaskan KPCDI menyatakan jaminan kesehatan dan sosial adalah hak rakyat, maka negara harus menyelenggarakan satu sistem jaminan sosial dan memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 28H dan Pasal 34 UUD Tahun 1945.

 

Karena itu, KPCDI meminta agar MA menyatakan Perpres No. 75 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) UUD Tahun 1945; Pasal 2, Pasal 4 (huruf b, c, d dan e), Pasal 17 ayat (3) UU SJSN; Pasal 2, 3, 4 ( huruf b, c, d dan e) UU BPJS; Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU Kesehatan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait