PBHI Menduga Penangkapan Tengku Ismuhadi Rekayasa
Berita

PBHI Menduga Penangkapan Tengku Ismuhadi Rekayasa

Jakarta, hukumonline.Lagi-lagi pihak kepolisian diduga melakukan rekayasa atas suatu kasus. Kali ini Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menduga Polda Metro Jaya telah melakukan rekayasa atas Tengku Ismuhadi yang dituduh sebagai pelaku pengeboman Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Nay/Bam
Bacaan 2 Menit
PBHI Menduga Penangkapan Tengku Ismuhadi Rekayasa
Hukumonline

Rentetan dugaan rekayasa itu tidak terlepas dari kejanggalan penyidikan yang dilakukan polisi, seperti halnya pada kasus pembunuhan Santi, aktivis pengumpul dana kemanusiaan Ambon, dan tudingan terhadap Angkatan Mujahidin Islam Nusantara (AMIN) atas kasus pembacokan Matori Abdul Djalil.

Dalam surat resminya kepada Kapolda Metro Jaya, yang dibacakan Johnson Panjaitan, PBHI menyatakan protes keras sekaligus keberatan atas penangkapan dan penahanan yang telah dikenakan atas tersangka pelaku pengeboman Gedung BEJ, Tengku Ismuhadi dkk. Surat itu ditembuskan kepada Presiden dan Kapolri.

Setelah mencermati serangkaian tindakan penyidikan yang telah dilakukan penyidik Polda Metro Jaya terhadap para kliennya, PBHI menarik analisis hukum adanya pelanggaran terhadap ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Tindakan dalam kasus ini (penangkapan Tengku, Red) dilakukan dengan sasaran orang, bukan sasaran adanya bukti awal suatu tindak pidana," ungkap Jonhson.

Menurut Jonhson, tindakan penyidik Polda Metro jaya tersebut jelas-jelas mengebiri ketentuan Pasal 17 KUHAP dan segala kepatutan hukum. Pasal 17 KUHAP mengatur "Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup."

Sinyalemen PBHI itu diperkuat dengan fakta Kasatserse Dipiter Polda Metro Jaya, Superintenden Winarno SP, SH yang telah melakukan kata-kata bohong. Jonhson menyatakan, pihaknya tidak diizinkan oleh penyidik Polda Metro Jaya untuk mengunjungi Tengku Ismuhadi dan kawan-kawan pada Jumat (29/9) dengan alasan  Tengku sedang menjalani pemeriksaan psikhologi.

Rekayasa barang bukti

Ternyata, menurut Jonhson, Tengku mengaku tidak menjalani pemeriksaan psikhologis pada Jumat itu. Bahkan pada hari yang bersamaan, para penyidik bersama tim gegana melakukan tindak penggeledahan tanpa surat izin Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kedua kalinya di rumah Tengku. Tindakan penyidik tersebut, sebagaimana diungkap Jonhson, telah melanggar ketentuan Pasal 33 KUHAP.

Menurut informasi, penyidik menemukan dua buah amunisi pistol FN kaliber 32 dan 38 di tempat tidur anak-anak, setelah pada penggeledahan pertama (25/9) sama sekali tidak menemukan barang bukti. Kenyataan itu, menurut Jonhson, adalah sebuah kejanggalan untuk tidak mengatakan telah terjadi rekayasa barang bukti.

Ketika dikonfirmasi pernyataan polisi yang menginformasikan Tengku adalah Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Jakarta, Jonhson menyatakan Tengku telah membantahnya dan menyatakan tuduhan itu adalah fitnah.

Pada saat tim penasehat hukum dari PBHI menemui Tengku pada Sabtu (30/09) penyidik dengan sikap overacting mendengar dan mengawasi seluruh proses pemeriksaan dan membatasi waktu kunjungan hanya 30 menit. Tindakan mendengar dan membatasi kunjungan penasehat hukum ini jelas telah menodai ketentuan Pasal 20 ayat 2 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan, dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara. Ketentuan tersebut mengatur "Petugas rumah tahanan mengawasi pertemuan penasehat hukum dengan tahanan yang dibelanya, tanpa mendengar isi pembicaraan."

Alibi

Selanjutnya, Jonhson mengatakan bahwa kliennya pada 13 September 2000 tengah berada di Jati Padang dalam rangka transaksi jual beli mobil sidekick hijau. Tengku kemudian pergi ke BCA Cilandak dan mencuci mobil pada hari itu.

Dengan demikian, menurut Jonhson, ada alibi kuat Tengku bukan pelaku pengeboman. Tengku sendiri telah dituduh melanggar Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Byzondere Straftbepalingen, dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun.

Keanehan lain, menurut Johnson, pada tiga lokasi penggeledahan, yaitu di bengkel yang digeledah sebanyak empat kali, kediaman Tengku yang digeledah sebanyak dua kali, dan rumah mertuanya, M. Yusuf, ternyata tidak sama sekali ditemui petunjuk apalagi barang bukti bahwa Tengku dkk melakukan pengeboman. Selain itu, surat penangkapan yang dikirim via pos yang ditandatangani pada 23 September 2000, ternyata bertanda pos tertanggal 29 September 2000.

"Dengan dikirimnya surat tembusan surat penangkapan via pos kepada masing-masing keluarga klien kami, jelas-jelas menjadi fakta yang terbantahkan akan kerancuan logika berpikir penyidik polda metro jaya yang dengan berani-beraninya menyatakan klien kami tertangkap basah melakukan tindakan pengeboman," bantah Jonhson.

Ketika  tim penasehat hukum dari PBHI  meminta turunan berita acara pemeriksaan ternyata tidak diberikan oleh penyidik dengan alasan yang tidak jelas. "Ini jelas mengingkari ketentuan Pasal 72 KUHAP," sambung Johnson.

Tuntut bebas tanpa syarat

Berpegang pada ketentuan Pasal 123 ayat (1) KUHAP, PBHI mengajukan keberatan atas penahanan para kliennya, sekaligus meminta agar para klien dibebaskan tanpa syarat.

Sementara Ketua PBHI Hendardi mencurigai kerja kepolisian yang penuh dengan ketertutupan. "Polisi harus membuktikan ini bukan rekayasa dengan cara membuktikan bahwa proses ini dilakukan dengan tidak melanggar due process of law," ujar Hendardi. Ia juga mengatakan tuduhan pihak kepolisan yang mengaitkan kliennya dengan GAM hanya karena keterlibatan sejumlah orang Aceh merupakan tuduhan yang tendensius.

PBHI, menurut Hendardi, akan secepatnya bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid untuk  menyatakan keprihatiannya atas kinerja kepolisian. Hendardi juga tidak menutup kemungkinan adanya penyiksaan dalam tahanan terhadap tersangka.

Hendardi mengatakan praperadilan secara material akan disiapkan atas tindakan kepolisian tersebut. Akan tetapi, Hendardi mengaku upaya praperadilan itu bergantung pada kliennya. Yang pasti, kata Hendardi, perkembangan terakhir pada hari ini, tim penasehat hukum dari PBHI masih belum bisa menemui kliennya.

Tags: