Pelaku Usaha Makanan Online Disarankan Cantumkan Informasi Kehalalan Produk
Terbaru

Pelaku Usaha Makanan Online Disarankan Cantumkan Informasi Kehalalan Produk

Selain itu pelaku usaha juga harus menjamin kehigienisan produk hingga sampai ke tangan konsumen.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi produk halal. HOL
Ilustrasi produk halal. HOL

Pandemi Covid-19 membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah. Hampir seluruh kegiatan yang biasanya harus dilakukan di luar rumah, terpaksa dilakukan dari rumah. salah satu contohnya adalah kegiatan jual beli. Saat ini e-commerse menjadi pilihan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dirketur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa beragam produk kebutuhan rumah tangga tersedia di pasar online, termasuk produk makanan dan minuman. Penjual dan Pembeli bertransaksi (bermuamalah) via daring. Pembeli hanya melihat produk melalui sajian visual, sangat terbatas untuk berinteraksi dengan penjual maupun produsennya.

Apalagi saat ini juga bermunculan reseller, sehingga informasi tuntas terhadap suatu produk menjadi terbatas. Sangat berbeda dengan bila transaksinya dilakukan secara langsung. Informasi detail pasti bisa diperoleh termasuk informasi kehalalan suatu produk. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim untuk mendapatkan jaminan atas kehalalan suatu produk sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 UU JPH, mengatur bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Ikhsan menjelaskan bagi pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan, maka pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya. (Baca: Perlunya Keberpihakan Pada Konsumen Produk Halal di Aturan Turunan UU Cipta Kerja)

Pasca ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 39/2021), terdapat pokok pengaturan dalam PP 39/2021 yang menjadi perhatian IHW yaitu mengenai [roduk yang wajib diberikan keterangan tidak halal.

Mencermati pengaturan pada PP 39/2021 yaitu Pasal 2 ayat (3), dimana produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal; produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal; produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal. Ikhsan menuturkan jika pihaknya mendukung kebijakan pemerintah yang sangat melindungi warga negaranya dalam hal mengkonsumsi dan mempergunakan produk, sekaligus menghimbau pelaku usaha untuk mencantumkan informasi kehahalan produk. Selain itu IHW juga turut memberikan sosialisasi dan edukasi melalui berbagai media termasuk lewat webinar-webinar.

“Kepada seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang e-commerce khususnya yang menjual produk makanan dan minuman, agar dapat mentaati ketentuan tersebut dengan wajib mencantumkan keterangan serta konten yang jelas terkait dengan kehalalan produk kepada masyarakat, sesuai dengan ketentuan dalam PP 39/2021,” kata Ikhsan dalam pernyataan tetulis, Jumat (20/8).

IHW memandang informasi kehalalalan dan tidak halal adalah sangat penting, terutama untuk produk makanan dan minuman yang telah bersertifikat halal. Sehingga diharapkan setiap masing – masing individu lebih berhati – hati dalam memilih makanan dan lebih peduli serta peka terhadap produk – produk yang beredar di Indonesia yang sudah bersertifikat halal ataupun yang tidak bersertifikat halal, mengingat kondisi saat ini pembelian makanan atau groceries melalui perdagangan daring (e-commerce) di masa pandemi COVID-19 mengalami peningkatan luar biasa.

“IHW juga mengapresiasi niatan Pemerintah ini dan menghimbau kepada seluruh pelaku usaha, serta layanan jasa e-commerce yang bekerja sama dengan pelaku usaha agar dapat mematuhi PP 39/2021, sehingga termasuk jasa layanan dan antaranya pun wajib memahami dan mematuhi ketentuan tersebut. Ini juga dalam rangka meningkatkan kepercayaan konsumen dan peningkatan penjualan dan omset produsen, serta kenyamanan konsumen (consumer satisfaction),” ujarnya.

Selain terkait kehalalan produk, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing, pernah menyoroti kehigienisan makanan dan minuman yang dipejualbelikan secara daring. Apakah makanan yang diterima konsumen dari jasa pesan antar daring dipastikan aman untuk dikonsumsi? Hal ini yang masih menyisakan pertanyaan. Pasalnya, selain dari sisi pengemasan yang masih kurang aman (menggunakan sterofoam, plastik dengan kualitas buruk), faktor jasa pesan antar secara daring (proses pengiriman) juga harus menjadi perhatian. Sejauh mana jasa pengirim bisa menjamin pesanan tetap higienis?

Menurut David, BPOM sudah menerbitkan Peraturan BPOM No 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan Secara Daring. Dalam regulasi ini, BPOM mengatur beberapa hal mengenai makanan olahan yang diperdagangkan secara daring, termasuk proses pengantarannya.

David menyebut Peraturan BPOM 8/2020 sudah cukup ideal dalam mengatur jasa pesan antar makanan daring, namun dalam praktiknya beberapa hal dalam regulasi ini masih dilanggar. Misalnya, driver pengantar orang dan sekaligus sebagai jasa pengantar makanan, membawa makanan tanpa wadah tertutup.

“Harusnya driver-driver ini punya semacam tas atau kotak atau wadah tertutup untuk membawa makanan yang dipesan konsumen. Tapi nyatanya wadah itu tidak ada, dan memang tidak mungkin driver yang sekaligus membawa orang, harus membawa wadah tertutup. Ini yang menjadi masalah,” jelas David.

Untuk itu, David menilai seharusnya pihak ketiga sebagai jasa pengantar makanan daring memisahkan layanan pengantaran orang, pengantaran barang non makanan, dan pengantaran makanan olahan. Ia juga meminta pihak terkait termasuk BPOM untuk melakukan pengawasan seperti inspeksi mendadak atau pengecekan secara berkala terhadap produsen makanan daring, terutama UMKM.

Sementara Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Amanta, mengatakan pertumbuhan layanan pesan antar makanan daring perlu diikuti oleh regulasi keamanan pangan yang memadai. Layanan pesan antar makanan memberikan pilihan dan kenyamanan bagi konsumen. Namun di saat yang bersamaan, konsumen seakan melepaskan haknya untuk memeriksa dan mengetahui bagaimana pangan yang ia konsumsi dipersiapkan dan dikemas karena hal ini diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu pihak pengirim.

Layanan pesan antar makanan daring, selain memperluas pilihan dan kenyamanan bagi konsumen, juga menciptakan kesempatan ekonomi bagi penjual dan pengirim. Namun, hal itu juga menciptakan tantangan keamanan pangan bagi konsumen yang berbeda dari transaksi secara langsung.

“Dibutuhkan regulasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan yang mampu menjamin keamanan pangan bagi konsumen, menciptakan rasa aman dan kepercayaan sekaligus untuk mendukung tumbuhnya sektor ini dan mendukung tumbuhnya e-commerce di Indonesia. Contohnya, saat ini belum ada regulasi jelas terkait traceability atau keterlacakan distribusi pangan dari petani ke konsumen (farm to fork) yang dapat memetakan risiko dan mengatasi masalah keamanan pangan jika terjadi,” urai Felippa.

Ia menjelaskan, tanggung jawab untuk standar keamanan pangan, sertifikasi pra-pasar, dan pengawasan pasca-pasar yang menjadi tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan pemerintah kota/kabupaten juga masih belum diimplementasikan secara efektif. Proses pendaftaran yang rumit, salah satunya, membuat perusahaan-perusahaan kecil tidak mendaftarkan usaha makanan/restoran mereka sebelum memasuki pasar daring. Sementara itu, kurangnya kapasitas dan koordinasi di antara lembaga-lembaga pemerintah menghambat pengawasan pasca-pasar yang efektif.

 

Tags:

Berita Terkait