Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Wahyu Effendi(*)

Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia ini. Namun, menjadi tidak lazim ketika suatu pemerintahan yang berdasar hukum (rechtsstaat) dan demokrasi, melakukan politik diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri. Apalagi jika dilakukan melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 2 Menit

Seharusnya, setelah perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut dibatalkan tanggal 10 April 1969 dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa  yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain (Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraannya dengan SBKRI.

Dokumen SBKRI untuk WNI Tionghoa, yang dilembagakan dengan Peraturan Kehakiman No. JB.3/4/12, 14 Maret 1978 pun sebenarnya secara yuridis sudah dianulir oleh Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 yang menyatakan: untuk kepentingan tertentu yang memerlukan kewarganegaraan RI, istri dan atau anak (yang sudah menjadi WNI karena perkawinan) cukup mempergunakan Keputusan Presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ayah atau ibunya beserta berita acara pengambilan sumpah atau KTP atau Kartu Keluarga atau Akta Kelahiran. Selanjutnya, Keppres tersebut ditegaskan kembali implementasinya dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999.

Namun, pada kenyataannya resolusi hukum yang sudah ada tentang tidak berlakunya SBKRI bagi WNI Tionghoa tersebut, tidak diimplementasikan oleh berbagai pejabat instansi di pusat maupun daerah.

Diskriminasi agama

Seperti juga disinggung dalam tulisan di awal, bahwa praktek penggolongan status penduduk Indonesia yang didasarkan juga pada agama selain etnis, menimbulkan praktek-praktek segregasi dan diskriminasi warga negara  berdasarkan agama di Indonesia.

Dikarenakan Belanda waktu itu yang warga negaranya mayoritas beragama Kristen, maka penggolongan agama utamapun didasarkan kepada golongan Kristen yaitu golongan bumiputera Kristen (S.1933), sedangkan yang bukan Kristen seperti Islam, Budha, Hindu, dan lainnya, dikelompokkan dalam golongan bumiputra Non-Kristen (S.1920). 

Lahir dari pencatatan peristiwa penting manusia di gereja di daratan Eropa, ditambah dengan penggolongan bumiputera (Kristen maupun Non-Kristen) yang hanya terbatas pada golongan ningrat dan yang mampu secara ekonomi, serta mereka yang di Jawa dan Bali, catatan sipil menjadi sangat tidak populer di kalangan masyarakat kecil (rakyat biasa dan miskin). Sehingga dalam perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, banyak di antara mereka yang kemudian digolongkan sebagai non-staatsblad.

Ini awal dimulainya segregasi hukum dan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan identitas agama/kepercayaan. Pemerintah berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan mengeluarkan UU No.1/1974. Undang-undang tersebut menghapuskan beberapa aturan staatsblad tentang perkawinan. Misalnya, Reglemen tentang perkawinan campuran (S.1846) dan Reglemen Perkawinan Kristen (S.1933). Namun kemudian, produk hukum ini menimbulkan permasalahan baru dengan pembatasan pencatatan perkawinan hanya kepada lima agama resmi Negara.

Tags: