Pembentuk UU Diminta Tak Perlu Masukkan UU Keperawatan dalam RUU Kesehatan
Terbaru

Pembentuk UU Diminta Tak Perlu Masukkan UU Keperawatan dalam RUU Kesehatan

Karena UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan telah mengatur dari hulu hingga hilir sektor tenaga kesehatan keperawatan dengan baik. Bahkan, terdapat pengaturan perlindungan terhadap klien dan perawat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Rencana wakil rakyat di parlemen membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan mengggunakan pendekatan omnibus law berdampak terhadap sejumlah UU sektor kesehatan ikut direvisi. Padahal, UU di sektor tenaga kesehatan, sedianya telah relevan dan masih layak digunakan. Seperti UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang belum berusia satu dasawarsa dianggap masih sempurna dan tak perlu dimasukkan dalam RUU Kesehatan.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris mengatakan UU 38/2014 masih sangat komprehensif dan implementatif dalam mengatur profesi keperawatan. Karenanya, DPR tak perlu memasukkan revisi UU 38/2014 dalam RUU Kesehatan. Fahira khawatir memasukkan UU 38/2014 dalam RUU Kesehatan malah akan mengganggu berbagai pengaturan sektor keperawatan yang selama ini telah berjalan dengan baik di lapangan.

Menurutnya, UU 38/2014 telah menjadi landasan kuat dalam pengembangan profesi keperawatan di tanah air dari hulu hingga hilir sektor keperawatan. Bahkan, hampir semua peraturan turunan UU 38/2014 sudah terbit, serta sudah diimplementasikan di tingkat pusat, daerah, bahkan institusi. “Jadi kalau dimasukkan ke dalam RUU Kesehatan dikhawatirkan kita memulai lagi dari awal lagi,” ujar Fahira Idris dalam keterangannya, Selasa (13/12/2022).

Bagi senator asal DKI Jakarta itu, UU 38/2014 berdampak positif terhadap aturan terkait pendidikan keperawatan dan praktik keperawatan dalam pelayanan kesehatan. Menariknya, perawat pun dapat membuat praktik mandiri. Pelayanan kesehatan melalui UU 38/2014 diberikan perawat berdasarkan pengetahuan dan kompetensi di bidang keilmuan keperawatan yang terus dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat dan tuntutan globalisasi.

Fahira menilai, sejak berlakunya UU 38/2014, banyak perawat yang praktik mandiri dan dipercaya masyarakat. Pasalnya, UU 38/2014 mampu mentransformasi pelayanan keperawatan yang dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman oleh perawat yang telah mendapat registrasi dan izin praktik. UU 38/2014 berhasil mewujudkan praktik keperawatan yang nyata dalam pelayanan kesehatan berdasarkan pelimpahan wewenang, penugasan dalam keadaan keterbatasan tertentu, penugasan dalam keadaan darurat, atau kolaborasi.

“Artinya tidak ada alasan UU Keperawatan harus masuk dalam RUU Kesehatan,” tegasnya.

Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah menilai RUU Kesehatan berpotensi mengancam keselamatan dan hak masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu  yang diberikan tenaga kesehatan yang beretika dan bermoral tinggi. Dia menengarai munculnya RUU Kesehatan cenderung berpihak terhadap kepentingan investor asing yang mengabaikan hak-hak masyarakat dan tenaga kesehatan atas perlindungan hukum serta keselamatan pasien.

Menurutnya, RUU Kesehatan mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing tanpa memiliki kompetensi dan kualifikasi yang jelas, serta tidak memperhatikan kearifan massyarakat nasional di dalam negeri. Menurutnya, RUU Kesehatan mengancam ketahanan bangsa dan mengebiri peran dan kewenangan profesi tenaga kesehatan yang telah memberi pelayanan kesehatan yang cukup baik.

RUU Kesehatan dinilainya berpotensi melemahkan kapasitas profesi perawat, bidan, dan dokter di tengah persaingan global dengan mencabut UU sektoral yang mengatur profesi tenaga kesehatan. Seperti UU 38/2014, UU No.4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang selama ini menjadi payung hukum dalam memberikan pelayanan profesi kesehatan terhadap masyarakat luas.

“PPNI menolak keras diikutsertakannya UU profesi masuk dalam pembahasan RUU Kesehatan dan mendesak Badan Legislasi mencabut RUU Kesehatan dari Prolegnas,” ujarnya beberapa waktu lalu di parlemen.

Dia berpendapat UU 38/2014 telah memberikan landasan kuat dalam pengembangan profesi perawat. Sebab, melalui UU 38/2014 kualitas dan profesionalitas perawat Indonesia semakin terjamin dan mampu menghadapi era persaingan.  Karenanya, UU 38/2014 telah mengatur secara lengkap dari hulu ke hilir sektor profesi keperawatan termasuk perlindungan terhadap klien dan perawat.

“Oleh karenanya, PPNI seluruh Indonesia meneguhkan sikap untuk menolak diikutsertakannya UU 38/2014 tentang Keperawatan dalam pembahasan RUU Kesehatan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, berbagai organisasi profesi kesehatan menolak keras keberadaan RUU Kesehatan. Mulai dari Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Organisasi profesi tenaga kesehatan itu telah menggelar aksi damai di area gerbang gedung DPR menolak RUU Omnibus Law Kesehatan pada 29 November 2022 lalu. 

RUU Kesehatan merupakan perubahan dari UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bedanya, RUU Kesehatan penyusunannya menggunakan metode omnibus law. Karenanya, sejumlah UU eksisting bakal ditarik masuk ke RUU Kesehatan. Seperti UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU No.4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Tags:

Berita Terkait