Pemerintah Berharap Pengesahan RUU KUHP Sebagai Resultante Demokratis
Utama

Pemerintah Berharap Pengesahan RUU KUHP Sebagai Resultante Demokratis

KUHP yang digunakan selama ini dinilai sebagian memuat ketidakpastian karena pemerintah tidak pernah menetapkan mana terjemahan KUHP yang resmi. Menkopolhukam mempersilakan jika nantinya ada pihak yang masih tidak setuju ada mekanisme MK dan legislative review.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

“Kalau memang ada yang tidak sepakat, ada (mekanisme, red) MK dan legislative review,” ujarnya.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan revisi KUHP sebagai upaya pemerintah untuk melakukan rekodifikasi. Dalam perjalanannya, banyak ketentuan KUHP yang dikeluarkan kemudian dibentuk UU tersendiri, misalnya Pasal 204 dan 205 KUHP tentang kejahatan terhadap barang dan makanan atau terkait obat terlarang. Kemudian tahun 1976 diterbitkanlah UU Narkotika.

Nah, saat ini pemerintah dan DPR berupaya melakukan rekodifikasi terhadap KUHP secara menyeluruh, sehingga ketentuan yang tadinya dikeluarkan dari KUHP, akan dihimpun dan dimasukan kembali dalam KUHP. Untuk itu, kata Edward, ada urgensi RUU KUHP untuk segera disahkan karena KUHP yang selama ini digunakan tidak pasti. Akibatnya, sudah jutaan orang yang dihukum menggunakan KUHP yang tidak pasti.

“Ini terjadi antara lain karena pemerintah tidak pernah menetapkan mana terjemahan KUHP yang resmi digunakan, apakah terjemahan KUHP (karangan, red) R Soesilo atau Prof Moeljatno?” kata pria yang akrab disapa Eddy OS Hiariej ini.    

Dia memberi contoh ada beberapa ketentuan yang terjemahannya memiliki perbedaan yang signifikan. Misalnya, Pasal 110 KUHP tentang Permufakatan Jahat. Moeljanto menyebut permufakatan jahat untuk makar dalam KUHP hukumannya pidana mati, tapi R Soesilo mengartikannya dengan penjara maksimum 6 tahun.

“Ini memunculkan ketidakpastian hukum. Maka kalau menunda terus (pengesahan RUU KUHP, red), maka kita terus menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti,” ujar pria yang juga tercatat sebagai Guru Besar Hukum Pidana UGM ini.

Selain itu, pengesahan RUU KUHP juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi selama ini terkait kelebihan kapasitas lapas. Sebab, RUU KUHP selain mengatur pidana/hukuman penjara, ada bentuk/jenis pidana lain seperti pidana denda, pengawasan, kerja sosial.

Untuk itu, Edward menekankan pembahasan RUU KUHP harus melibatkan berbagai pihak seperti kementerian/lembaga, masyarakat sipil, akademisi, dan lainnya. “Kunci keberhasilan UU itu adanya sosialisasi yang masif, dan diskusi komprehensif untuk menghimpun masukan berbagai pihak,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait