Pemerintah Diminta Terbitkan Aturan Perlindungan Pelaku Hubungan Industrial
Utama

Pemerintah Diminta Terbitkan Aturan Perlindungan Pelaku Hubungan Industrial

Karena SE Menaker No.M/3/.04/III/2020 tertanggal 17 Maret dinilai belum memberi solusi dampak Covid-19 bagi pekerja/buruh dan pengusaha.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Payung hukum perppu

Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Ike Farida melihat pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait Covid-19, diantaranya SE Menaker No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Kemudian, Peraturan Presiden No.49 Tahun 2020, Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun 2020, SE Menperin No.4 Tahun 2020, Keputusan Gubernur Jakarta No.380 Tahun 2020, dan Peraturan Gubernur Jakarta No.33 Tahun 2020.

 

Dari berbagai peraturan itu, Ike menilai belum ada yang memberi solusi konkrit terhadap nasib pekerja dan pengusaha untuk menghindari PHK. Tanpa maksud mengkritik pemerintah atas lengah dan lambatnya penanganan serta antisipasi pandemi Covid-19, pihaknya mendesak pemerintah untuk tidak melakukan hal yang sama dalam masalah ketenagakerjaan.

 

“Pemerintah jangan lambat dan lengah lagi dalam menangani masalah ketenagakerjaan untuk menghindari terjadinya ‘tsunami’ PHK (PHK massal, red) yang sudah di depan mata,” kata Ike belum lama ini. Baca Juga: Menaker PHK Langkag Terakhir Hadapi Dampak Covid-19

 

Ike mencatat pernyataan Menteri Ketenagakerjaan seperti diberitakan sejumlah media yang meminta agar pengusaha menghindari PHK. Sejumlah Langkah perlu ditempuh seperti tidak memperpanjang PKWT, mengurangi upah, dan fasilitas manajer serta direktur, mengurangi shift kerja, membatasi/menghapus kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan buruh untuk sementara waktu. Sebelum melaksanakan langkah itu tentu saja harus dibicarakan dan disepakati pengusaha dengan serikat pekerja atau wakil pekerja di perusahaan yang bersangkutan.

 

Menurut Ike, sedikitnya ada 4 alasan sulitnya pelaksanaan imbauan yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan itu. Pertama, apakah serikat pekerja mau jika upahnya dikurangi? Upah adalah hak normatif pekerja. Faktanya, besaran bonus yang tidak termasuk kategori hak normatif saja dapat memicu mogok kerja. Kedua, apakah pengusaha mampu membayar upah pekerjanya sekalipun besarannya dikurangi? Padahal perusahaan sudah merugi akibat berhentinya operasional.

 

Ketiga, apa payung hukum imbauan Menteri Ketenagakerjaan itu untuk mempekerjakan pekerja secara paruh waktu? Mengingat UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kerja paruh waktu. Keempat, sebagian perusahaan tidak dapat melaksanakan kerja dari rumah (work from home) karena tidak ada cantolan hukumnya. Dalam perjanjian kerja, sebagian besar mengartikan defenisi “bekerja” adalah melakukan pekerjaan di area perusahaan.

 

Menurut Ike, pemerintah harus mencari cara bagaimana menghindari PHK, bukan mengurusi pasca PHK. Berbagai program sosial yang disiapkan pemerintah seperti kartu prakerja berpotensi tidak tepat sasaran. Program ini bukan solusi agar tidak terjadi PHK, tapi hanya subsidi dan fasilitas pelatihan untuk meningkatkan kompetensi kerja, bukan untuk menggaji pengangguran.

Tags:

Berita Terkait