Pemerintah Perlu Segera Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Berita

Pemerintah Perlu Segera Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

​​​​​​​Untuk mencegah agar kasus penghilangan paksa tidak terjadi lagi dan memberi efek jera terhadap pelaku.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Paian, regulasi yang ada sekarang sudah cukup memberikan payung hukum pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Tahun 2009 DPR telah menerbitkan 4 rekomendasi yaitu membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 aktivis yang hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban, dan meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa. Sampai saat ini rekomendasi itu belum dijalankan pemerintah.

 

Mewakili keluarga korban, Paian sangat prihatin terhadap kondisi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu karena tak kunjung tuntas. Dia berharap sebelum akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, setidaknya pemerintah punya kebijakan konkrit dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Konvensi Anti Penghilangan Paksa harus diratifikasi agar tidak terjadi lagi kasus penghilangan paksa,” tegasnya.

 

Kepala Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Feri Kusuma, mengatakan kasus penculikan dan penghilangan paksa masih terus terjadi sampai sekarang. Peristiwa itu terus berulang dan terjadi di berbagai daerah seperti di Aceh pada masa darurat militer dan Papua. “Penghilangan paksa itu terjadi ketika ada penangkapan, dan penahanan tanpa ada informasi yang diberikan kepada pihak keluarga,” paparnya.

 

Feri yakin kasus penculikan dan penghilangan paksa akan terus terjadi selama konvensi Anti Penghilangan Paksa belum diratifikasi. Tahun 2011 pemerintah melalui Menteri Luar Negeri telah menandatangani konvensi Anti Penghilangan Paksa, ini sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap terbitnya konvensi. Upaya itu harusnya segera ditindaklanjuti dengan cara meratifikasi konvensi tersebut.

 

Feri mencatat sejak 2011 sampai sekarang ratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM. Selaras itu Feri mengkritik Perpres No.33 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perpres No.75 Tahun 2015 tentang RAN HAM Tahun 2015-2019. Ketentuan itu hanya menargetkan pembahasan ratifikasi konvensi dengan ukuran keberhasilan berupa terlaksananya diskusi antar lembaga, diskusi publik, dan penyusunan naskah akademik.

 

“Harusnya ratifikasi ini sudah dilakukan satu tahun setelah pemerintah menandatangani konvensi di tahun 2011,” tukas Feri.

 

Feri menekankan ratifikasi konvensi itu sangat penting sebagai komitmen pemerintah melindungi masyarakat dari praktik penghilangan orang secara paksa. Konvensi itu juga mengatur adanya pemulihan atau reparasi bagi korban dan memuat aturan yang diyakini mampu memberikan efek jera terhadap pelaku.

Tags:

Berita Terkait