Pemerintah Perlu Serius Jalankan Reformasi Hukum
Berita

Pemerintah Perlu Serius Jalankan Reformasi Hukum

Dibutuhkan kebijakan yang signifikan untuk membenahi sektor hukum.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Perlu Serius Jalankan Reformasi Hukum
Hukumonline

Pembenahan sektor hukum menjadi salah satu agenda kerja pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Sekitar tahun 2016 pemerintah menerbitkan reformasi hukum jilid I, kebijakan itu menyasar pemberantasan pungli hingga pelayanan publik. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan reformasi hukum jilid II, fokusnya membenahi regulasi. Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, menilai pemerintah belum serius menjalankan reformasi hukum. “Reformasi hukum jalan di tempat,” katanya dalam diskusi dan peluncuran buku di Jakarta, Kamis (23/8).

 

Untuk reformasi hukum jilid I, Erwin tidak melihat ada evaluasi yang dilakukan pemerintah. Kemudian, mengenai kebijakan yang berkaitan dengan reformasi hukum, menurutnya tidak ada yang signifikan terhadap pembenahan sektor hukum di Indonesia. Pemerintahan Jokowi hanya melanjutkan kebijakan pemerintah periode sebelumnya seperti penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

 

Menurut Erwin kondisi itu diperburuk oleh pemilihan aktor yang memimpin lembaga pemerintah di bidang hukum berasal dari kalangan partai politik. Misalnya, Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM. Masalah kriminalisasi juga sangat vulgar di era pemerintahan Jokowi-JK, seperti kasus yang menimpa pimpinan KPK. Penegakan hukum era Jokowi-JK juga tergolong buruk, terbukti dari penyelesaian kasus yang menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan yang berlarut.

 

(Baca juga: Presiden Tak ‘Happy’ IPK Hanya Naik 1 Poin, Korupsi Sektor Swasta Mulai Dibidik)

 

Erwin berpendapat pemerintahan Jokowi-JK masih punya waktu untuk melakukan reformasi hukum sampai akhir masa jabatannya tahun 2019. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan dan berdampak signifikan terhadap sektor hukum di Indonesia yakni merevisi KUHAP. Erwin sepakat dengan langkah Presiden Jokowi menunda pengesahan revisi KUHP karena masih terdapat berbagai persoalan. “Kita butuh reformasi hukum acara karena itu yang dihadapi sehari-hari seperti penahanan dan penangkapan. Tidak sedikit kasus dimana orang ditahan tanpa bukti yang lengkap,” urainya.

 

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu juga menjadi bagian dari reformasi hukum. Walau penyelesaian pelanggaran HAM itu masuk dalam agenda nawacita, tapi sampai sekarang pemerintah belum melakukan upaya serius untuk menuntaskannya. “Dibutuhkan keberanian politik Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain itu harus ada dorongan publik yang masif,” tukasnya.

 

Selain itu Al menyoroti lemahnya parlemen dalam melakukan pengawasan, khususnya menyangkut reformasi di bidang pertahanan dan keamanan. Tercatat sampai sekarang belum ada proses hukum yang mampu memberikan efek jera terhadap pelanggar HAM. Akibatnya, berbagai kasus pelanggaran HAM terus berulang, antara lain kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib dan Theys Eluay. “Pelanggaran HAM terjadi bukan hanya karena lemahnya penegakan hukum tapi juga ada transaksi politik,” paparnya.

 

(Baca juga: Perbaiki Indeks Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Fokus 7 Sektor)

 

Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, melihat ada yang tidak sinergis antara reformasi di sektor pertahanan dan keamanan. Misalnya, pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018. Padahal regulasi yang ada secara tegas dan jelas mengatur tugas TNI fokus pada pertahanan, sedangkan keamanan menjadi ranah Polri.

 

Menurut Poengky pelaksanaan ketentuan itu akan menimbulkan masalah, karena TNI masih menggunakan Peradilan Militer (Permil). Berbeda dengan anggota Polri yang tergabung dalam Detasemen Khusus 88 yang bisa diadili melalui peradilan umum jika terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya memberantas tindak pidana terorisme. “TNI tidak boleh terlibat dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait