Pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020 Sangat Disesalkan
Berita

Pencabutan RUU PKS dari Prolegnas 2020 Sangat Disesalkan

Permohonan perlindungan korban kekerasan seksual ke LPSK jumlahnya semakin meningkat. RUU PKS diharapkan mampu memudahkan aparat penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Melansir data Komnas Perempuan Dian menyebut selama tahun 2019 terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual sejak tahun 2007 naik sampai 792 persen. Pandemi Covid-19 di mana karantina mandiri banyak dilakukan berbagai daerah ternyata meningkatkan jumlah kekerasan seksual di ranah domestik. LBH Apik mencatat ada 30 laporan kasus per bulan sebelum pandemi, dan meningkat jadi 90 laporan setiap bulan sejak Maret-Juni 2020.

Mengacu data LBH Apik, Dian menyebut terjadi peningkatan laporan kekerasan seksual sebesar 300 persen. Alih-alih segera membahas dan mengesahkan RUU PKS, DPR malah menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan mencabut RUU PKS dari prolegnas 2020.

“Ini ironis, berbeda dengan pembahasan perubahan UU Pertambangan, Mineral dan Batubara yang di bahas dan disahkan pada saat pandemi belum tuntas. Begitu juga RUU Cipta Kerja, pembahasannya terus berlanjut kendati pandemi masih terjadi,” katanya ketika dikonfirmasi, Sabtu (4/7).

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyesalkan RUU PKS dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. "Kami sangat menyesalkan dikeluarkannya RUU PKS dari daftar Prioritas Prolegnas 2020," ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga melalui pesan singkat yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (2/7).

Sandrayati menyebut penundaan pembahasan RUU PKS merupakan bentuk pembiaran atas terjadinya pelanggaran HAM berupa tindakan kekerasan. Menurut dia, RUU PKS sangat dibutuhkan untuk melindungi HAM dari tindakan kekerasan dan merendahkan martabat kemanusiaan yang hingga saat ini belum diatur dalam undang-undang yang ada.

Hal yang sama diutarakan Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu. Dia mengatakan ada kekosongan hukum tentang peradilan yang lebih melindungi perempuan dari kekerasan seksual.

"Kita tidak ada peraturan peradilan yang lebih melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Karena itu kami sangat mendukung Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual," kata Pribudiarta.

Tags:

Berita Terkait