Pencegahan Aksi Kekerasan Tanggung Jawab Bersama
Berita

Pencegahan Aksi Kekerasan Tanggung Jawab Bersama

Sepanjang sesuai Protap, polisi harus tegas terhadap kelompok intoleran tanpa khawatir dinilai melakukan pelanggaran HAM.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Anang Iskandar. Foto: Sgp
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Anang Iskandar. Foto: Sgp

Maraknya aksi kekerasan antar kelompok belakangan ini akibat kurang maksimalnya tindakan pencegahan. Pendekatan preventif dinilai perlu dan tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat keamanan. Pemerintah Pusat, Pemda, dan tokoh agama memiliki peran yang sama untuk mengatasi masalah ini.


Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Anang Iskandar mengatakan, aparat kepolisian memiliki fungsi melakukan pencegahan dan melakukan penindakan. Sayangnya, posisi media selalu menyudutkan kepolisian.


Anang menuturkan, media hanya tertarik memberitakan penindakan yang dilakukan kepolisian dalam mengatasi aksi kekerasan. Akibatnya masyarakat hanya mengetahui polisi melakukan tindakan represif. Dalam kasus Sampang Madura, misalnya. Menurutnya, polisi telah melakukan upaya pencegahan


"Tapi jika polisi melakukan upaya pencegahan, pemberitaan di media minim," katanya dalam sebuah dikusi di Jakarta, Sabtu (1/9)..


Dia menambahkan, kekerasan merupakan produk masyarakat. Oleh karena itu, penanganannya mesti dilakukan hingga tuntas. Dalam menangani aksi kekerasan di masyarakat berbagai pihak juga harus berbagi peran.


Aparat kepolisian, katanya, memprioritaskan pada keamanan dan mencari tersangka hingga melimpahkan ke penuntut umum. Namun yang terpenting lagi, upaya pencegahan dengan melakukan dialog dengan pihak bertikai perlu dilakukan. “Paling tidak upaya pencegahan seperti dialog dikedepankan,” ujarnya.


Nurcholis punya pandangan senada. Wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ini mengatakan, dalam penyelesaian aksi kekerasan di masyarakat tidak melulu menggunakan proses hukum. Menurutnya, proses hukum hanyalah elemen dalam penyelesaian masalah. Namun, sekat yang terdapat di masyarakat pun perlu diselesaikan agar tidak muncul konflik di kemudian hari. Dia menilai selama ini polisi hanya bekerja sendiri.


Semestinya sebagai mediator dalam melakukan dialog tidak melulu aparat keamanan. Tapi peran pemerintah daerah yang mseti ambil bagian.


“Polisi jangan bekerja sendiri. Polisi mau ambil semua peran, tapi kalau proses dialog diambil oleh kepala daerah, jadi pembagian tugas itu bisa berjalan. Saya sering mengeluhkan misalnya kasus Bima, Mesuji dan Sampang bisa kita urai sepanjang lembaga ini bekerjasama. Saya otimis bisa kita urai,” katanya.


Intelektual muslim Zuhairi Miswairi menegaskan, pemerintah harus membuka ruang publik untuk melakukan dialog. Misalnya dalam kasus Sampang yang masih hangat di masyarakat. Menurutnya, jika pemerintah membuka ruang dialog antara kelompok syiah dan sunni di Madura setidaknya akan meminimalisir aksi kekerasan bukan sebaliknya justru memvonis aliran syiah sesat.


“Harus ada ruang publik di mana warga bisa menyampaikan pandangannya dan ini tidak berfungsi. Ini harusnya difasilitasi negara. Bukannya melalui dialog, tapi mengeluarkan fatwa sesat,” ujarnya.


Sementara itu, anggota Komisi Hukum DPR Didi Irawadi Syamsudin berpendapat, dalam kasus kekerasan jangan sampai ada kesan pembiaran oleh polisi. Menurutnya, dalam beberapa kasus kekerasan terkesan polisi toleran. Padahal, polisi memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan kekerasan sepanjang tidak melanggar prosedur ketetapan (Protap).


Dia berpandangan polisi enggan mengambil tindakan tegas karena khawatir dinilai melanggar HAM. “Tapi ini terjadi berulang-ulang dan polisi memberikan toleransi. Makanya saya pikir tidak perlu lagi ada toleransi. Polisi harus tegas dan memberikan perlindungan pada korban dan memberikan tindakan tegas kepada kelompok intoleran,” katanya.


Politisi Partai Demokrat ini berpendapat, selama ini  masih banyak kekurangan dalam upaya mencegah terjadinya aksi kekerasan. Menurutnya, pencegahan aksi kekerasan lebih banyak dibebankan kepada aparat keamanan. Padahal peran tokoh masyarakat dan agama memiliki peran yang besar di masyarakat.


“Karena itu peran Kementrian Agama, tokoh masyarakat dan agama sangat penting. Indonesia ke depan tergantung pada anda tokoh masyarakat dan agama, bukan hanya pada pemerintah saja. Dan polisi jangan ragu-ragu melakukan tindakan tegas dan penegakan hukum kepada kelompok intoleran,” pungkasnya.

Tags: