Pendidikan Profesi Advokat dalam Kerangka Hukum Pendidikan Profesi Indonesia
Kolom

Pendidikan Profesi Advokat dalam Kerangka Hukum Pendidikan Profesi Indonesia

Organisasi advokat perlu untuk segera menata pelaksanaan pendidikan advokat yang sejalan semangat Pasal 31 UUD 1945 dan rezim pendidikan keprofesian.

Bacaan 11 Menit

Keharusan tersebut menurut MK didasarkan pada argumentasi bahwa adanya standardisasi pendidikan, termasuk pendidikan profesi, akan terjaga kualitasnya sebagaimana dikehendaki oleh UU Advokat dan sejalan dengan semangat Pasal 31 UUD 1945. MK menambahkan bahwa untuk mencapai tujuan yang diharapkan tersebut, perlu standar yang lazim digunakan dalam pendidikan keprofesian, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan standar pendidikan.

Dalam Permenristekdikti PPA, syarat bagi penyelenggaraan PPA diatur secara kumulatif, yakni perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi ilmu hukum program sarjana, memiliki peringkat akreditasi paling rendah B atau Baik Sekali, dan bekerja sama dengan organisasi advokat yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Pasal ini pada dasarnya telah secara jelas dan tegas menyatakan bahwa penyelenggaraan PPA harus dilaksanakan melalui kerja sama dengan organisasi advokat, mengingat persyaratan yang diatur bersifat kumulatif.

Selain itu, syarat penyelenggaraan profesi advokat juga diatur salah satunya adalah memiliki perjanjian kerja sama antara perguruan tinggi dengan organisasi advokat. Berdasarkan hal tersebut, perguruan tinggi tidak bisa menyelenggarakan PPA tanpa adanya kerja sama dengan organisasi advokat. Dengan kata lain, Permenristekdikti a quo justru menegaskan keterlibatan organisasi advokat dalam pelaksanaan PPA.

Anggapan bahwa Permenristekdikti PPA menghilangkan kewenangan organisasi advokat dalam menyelenggarakan PPA jelas tidak memiliki dasar yang jelas. Lebih lanjut, hal ini juga diamini oleh MK melalui Putusan Nomor 95/PUU-XIV/2016 di atas yang menegaskan bahwa organisasi advokat berwenang menyelenggarakan pendidikan profesi advokat, dengan syarat harus bekerja sama dengan perguruan tinggi. Selain itu, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 30 P/HUM/2019 juga menguatkan hal tersebut, dan menyatakan bahwa pada intinya kewenangan organisasi advokat tidaklah dihapuskan, tetapi disinergikan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi.

Kedua, berkaitan dengan standar penyelenggaraan pendidikan. Dikarenakan adanya kekosongan pengaturan mengenai standar pendidikan advokat dalam UU Advokat, dan memperhatikan dinamika yang terjadi dalam rezim pengaturan pendidikan profesi di Indonesia, maka pendidikan profesi advokat harus dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi yang berlaku secara nasional. Rezim hukum pendidikan saat ini telah jelas dan terang menempatkan pendidikan profesi sebagai salah satu jenis pendidikan formal. Sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat implikasi bahwa pelaksanaan pendidikan formal harus sesuai dengan berbagai standar yang ada, termasuk diantaranya KKNI dan SN Dikti yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, MA dalam putusan di atas juga menegaskan bahwa keharusan adanya kerja sama dalam penyelenggaraan pendidikan profesi advokat antara organisasi advokat dan perguruan tinggi, menjadi sarana bagi organisasi advokat untuk memastikan kualitas dan mutu profesi advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Organisasi advokat tentunya tidak dapat secara sembarangan menyelenggarakan pendidikan profesi advokat, sehingga pelaksanaannya harus mengacu pada berbagai standar pendidikan yang berlaku sebagaimana disebutkan di atas. Dalam rangka menyesuaikan standar tersebut, dalam Permenristekdikti PPA telah diatur beberapa hal, seperti beban belajar mahasiswa dan masa studi, serta standar lulusan.

Ketiga, mengenai implikasi pemberian gelar advokat. Terdapat anggapan bahwa pemberian gelar sebagaimana diatur dalam Permenristekdikti PPA bertentangan dengan UU Advokat. Hal ini disampaikan Pemohon Hak Uji Materiil dalam Perkara Nomor 30P/HUM/2019. Pemohon beranggapan bahwa pemberian gelar tersebut bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) huruf f dan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa yang berhak menguji dan mengangkat advokat adalah organisasi advokat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait