Penerapan UU PDP, Potensi Kriminalisasi Hingga Hambat Kerja-Kerja Pers
Utama

Penerapan UU PDP, Potensi Kriminalisasi Hingga Hambat Kerja-Kerja Pers

LBH Pers, AJI Indonesia, dan ICW mendorong agar pemerintah dan DPR mengeluarkan Pasal 4 ayat (2) huruf d, Pasal 15 ayat (1), Pasal 64 ayat (4), Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP yang dianggap bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik yang dijamin Pasal 28 F UUD 1945 dan UU Pers.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana rapat paripurna pengesahan RUU PDP menjadi UU. Foto: RES
Suasana rapat paripurna pengesahan RUU PDP menjadi UU. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah disahkan menjadi UU, momentum tata kelola pelindungan data pribadi menjadi lebih baik. Namun, dampaknya perlu dilihat dalam penerapan UU PDP nantinya. Seperti ada potensi kriminalisasi warga negara dan ancaman menghambat kerja-kerja profesi jurnalis saat menjalankan tugas jurnalistiknya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan mendalami materi UU PDP terdapat pertanyaan soal sejauh mana beleid tersebut melindungi data pribadi pejabat atau tokoh publik. Menjadi menarik, sebab dalam banyak kesempatan rekam jejak pejabat publik penting diketahui masyarakat secara luas. Seperti informasi tokoh publik yang sedang mengikuti kontestasi politik pemilu legislatif.

“Pertanyaan sederhananya, bagaimana jika ia pernah pernah mempunyai catatan buruk di masa lalunya? Apakah hal itu melanggar hukum ketika disampaikan secara gamblang kepada masyarakat? Menjadi keliru bila tindakan tersebut berujung kriminialisasi,” ujar Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/9/2022).

Padahal, Pasal 240 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan mantan terpidana agar mendeklarasikan rekam jejak status hukumnya. Menurutnya, UU PDP malah menghalangi publik mengetahui informasi yang patut diketahui masyarakat. Hal tersebut malah bertentangan dengan konstitusi.

Baca Juga:

Pasal 28 F UUD Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Tak hanya terkait pemilu legislatif, potensi ancaman kriminalisasi masyarakat dalam proses seleksi pimpinan penegak hukum, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menjadi soal bila maraknya calon-calon bermasalah melenggang maju dalam proses pemilihan, tapi masyarakat dipaksa untuk mendiamkan jika mengetahui rekam jejak buruknya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait