Penerapan Vonis Mati Bergantung Dakwaan Penuntut Umum
Terbaru

Penerapan Vonis Mati Bergantung Dakwaan Penuntut Umum

Kalau dakwaannya tidak menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999, hakim tidak bisa memvonis pidana mati menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi eksekusi pidana mati. Hol
Ilustrasi eksekusi pidana mati. Hol

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin nampaknya tak main-main bakal menuntut dengan pidana maksimal terhadap pelaku dugaan korupsi Asuransi Jiwasraya dan Asabri berupa hukuman mati.  Alasannya tak hanya menimbulkan kerugian negara, namun berdampak luas terhadap masyarakat dan prajurit TNI. Tapi, penjatuhan pidana mati bergantung bergantung pula pada dakwaan jaksa penuntut umum.

“Hukum positifnya itu memberikan pintu. Cuma pintu itu dipergunakan untuk masuk atau tidak untuk menjatuhkan pidana mati,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani, Jumat (29/11/2021) pekan kemarin.

Menurutnya, dalam perkara korupsi yang dilakukan pada situasi keadaan tertentu, namun dalam surat dakwaan penuntut umum tidak menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berpengaruh pada majelis hakim dalam penjatuhan hukuman terdakwa. Majelis Hakim tak dapat mengganjar hukuman pidana mati karena penuntut umum menggunakan pasal lain dengan pidana maksimal penjara, bukan pidana mati.

“Kalau dakwaannya tidak menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999, hakim tidak bisa memvonis pidana mati menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Jadi ini sangat bergantung pada surat dakwaan,” ujarnya. (Baca Juga: Koalisi Hati Sampaikan 7 Rekomendasi Penghapusan Hukuman Mati)

Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpandangan hakim biasanya tak berani memutus perkara di luar permintaan dakwaan dan rekuisitor jaksa. Namun begitu, biasanya penuntut umum di persidangan meminta agar hakim memutus perkara dengan seadil-adilnya.

Menurutnya, permintaan putusan yang adil membuka kemungkinan hakim memutus berdasarkan ketentuan pasal lain selain yang diminta jaksa dalam rekuisitornya, tapi tetap dalam kerangka dakwaan. Artinya, berdasarkan fakta persidangan hakim dapat memilih menjatuhkan pasal sejauh ada dalam dakwaan. “Karena berdasarkan KUHAP hakim hanya boleh memutus sepanjang ada dalam surat dakwaan,” kata dia.

Bila isi dakwaan tak terbukti sebagaimana dalam surat tuntutan penuntut umum, hakim dapat memutus bebas atau menghukum berdasarkan pasal lainnya yang didakwakan. Menurutnya, Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor terdapat frasa “dalam keadaan tertentu” yang membuka peluang penjatuhan pidana mati bagi pelakunya.

“Namun apakah hakim berani atau tidak bergantung pada keberanian dan keyakian hakim dan pastinya tergantung pada pasal-pasal dalam dakwaan. Sepanjang ada dalam dakwaan hakim bisa memutus meskipun tidak dituntut penuntut umum.”

Baginya, peluang terbukanya penjatuhan sanksi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam keadaan tertentu sejak adanya UU 31/1999. Sayangnya, sepanjang adanya pengaturan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 belum pernah sekalipun penuntut umum menggunakan padal itu dalam penanganan perkara kasus korupsi. “Ini soal kesungguhan dan soal keberpihakan (setuju atau tidak, red) terhadap penerapan hukuman mati terhadap pelaku korupsi, padahal secara yuridis tekstual dimungkinkan,” lanjutnya.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad berpandangan penerapan pidana mati harus sesuai dengan norma yang berlaku dan menjunjung hak asasi manusia. Terpenting, konstruksi hukum yang dibangun penuntut umum harus jelas dan gamblang. Seperti ketika jaksa penuntut umum bakal menuntut hukuman pidana mati terhadap terdakwa menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”.

Menurutnya, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor terdapat kata “pengulangan” tindak pidana korupsi. Dia berpendapat tafsir kata “pengulangan” tak dapat dimaknai sama dengan residivis yang terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sementara yang dapat diterapkan dalam lex spesialis hanya Bab I-VIII Buku ke-1 KUHP. Dia berpendapat konteks pengulangan dalam UU Pemberantasan Tipikor berbeda halnya dengan KUHP. “Maka perlu ada pemaknaan tersendiri. Apabila disamakan, hal itu tidak sejalan dengan norma yang berlaku,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Leonard Simanjutak  mengatakan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka peluang penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi. “Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan hukuman mati bagi koruptor,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada wartawan.

Menurutnya, peluang yang sedang dikaji itu bagi terdakwa kasus Jiwasraya dan Asabri. Jaksa Agung beralasan kedua kasus mega korupsi tersebut tak hanya menimbulkan kerugian negara, tapi berdampak luas kepada masyarakat ataupun hak-hak pensiunan prajurit tentara bagi masa depan keluarganya di hari tua.

Baginya, penerapan hukum mati ini dengan memberikan rasa keadilan dalam penuntutan dengan mengedepankan hukum positif dan nilai-nilai hak asasi manusia. Namun begitu, dimungkinkan adanya konstruksi lain, seperti mengupayakan hasil rampasan dapat bermanfaat langsung serta adanya kepastian terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat terdampak dari kejahatan korupsi. 

Tags:

Berita Terkait