Penetapan Tarif Asuransi Cegah Persaingan Tak Sehat
Berita

Penetapan Tarif Asuransi Cegah Persaingan Tak Sehat

Persaingan tak sehat bisa merugikan masyarakat pemegang polis

FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Komisioner OJK bidang Industri Keuangan Non Bank Firdaus Djaelani (ketiga dari kiri) bersama AAUI saat menggelar konferensi pers mengenai Surat Edaran Nomor 06/D.05/2013, Jumat (24/01), Foto: FAT
Ketua Dewan Komisioner OJK bidang Industri Keuangan Non Bank Firdaus Djaelani (ketiga dari kiri) bersama AAUI saat menggelar konferensi pers mengenai Surat Edaran Nomor 06/D.05/2013, Jumat (24/01), Foto: FAT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 06/D.05/2013 tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda (Properti) serta Jenis Risiko Khusus Meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi dan Tsunami Tahun 2014. SE ini ditandantangani pada 31 Desember 2013 lalu.

Kepala Eksekutif Pengawas OJK bidang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Firdaus Djaelani mengatakan, SE ini mengatur penetapan batas atas dan batas bawah tarif premi asuransi kendaraan bermotor, properti, serta jenis risiko khusus seperti banjir, letusan gunung berapi dan tsunami. Penetapan tarif ini bertujuan untuk mencegah persaingan tak sehat antara perusahaan asuransi dan reasuransi serta memberikan perlindungan bagi konsumen.

Untuk tarif batas atas ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari pengenaan premi yang berlebihan (over pricing). Sedangkan penetapan tarif batas bawah bertujuan untuk mencegah tarif yang tak memadai sehingga dapat menyebabkan perusahaan asuransi tak mampu membayar klaim konsumen.

“Penetapan tarif batas atas dan batas bawah juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi perusahaan asuransi untuk berkompetisi secara lebih sehat agar fokus dalam hal pelayanannya,” kata Firdaus di Jakarta, Jumat (24/1).

Selain memberikan perlindungan kepada konsumen dan mencegah terjadinya persaingan tak sehat, kata Firdaus, diterbitkannya aturan ini juga bertujuan mengurangi defisit transaksi berjalan di sektor reasuransi. Menurutnya, pada 20 tahun lalu, defisit transaksi berjalan di sektor reasuransi mencapai Rp250 miliar. Angka ini ditengarai semakin lama terus meningkat.

Hal ini terlihat dari meningkatnya premi asuransi yang ditransfer perusahaan asuransi nasional ke perusahaan reasuransi di luar negeri. Namun, klaim asuransi dari perusahaan reasuransi di luar negeri masih terbilang kecil. Firdaus mengatakan, jika hal ini tak dibenahi maka defisit transaksi berjalan di sektor reasuransi akan semakin membengkak.

Untuk menekan defisit transaksi berjalan tersebut, OJK menerbitkan aturan ini. Menurut Firdaus, dalam proses pembuatan aturan ini OJK menggandeng Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Aturan ini sudah berlaku pada Januari 2014. Aturan ini tak hanya berlaku bagi perusahaan asuransi dan reasuransi saja.

Menurutnya, perusahaan pembiayaan dan perbankan yang memiliki bisnis proses di bidang asuransi juga harus tunduk pada aturan ini. Ia berharap, seluruh perusahaan yang melakukan bisnis proses di sektor asuransi dapat segera beradaptasi dengan aturan ini. Firdaus mengatakan, bagi stakeholder yang tak patuh terhadap aturan ini akan dikenakan sanksi tegas oleh OJK.

“Sanksi tersebut bisa berupa pelarangan penjualan produk asuransi dalam jangka waktu tertentu hingga melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi direksi perusahaan jika kesalahan dilakukan berulang kali,” katanya.

Menurut Firdaus, tarif premi asuransi properti dan kendaraan bermotor memiliki nilai yang berbeda-beda tergantung dari kelasnya. Begitu juga untuk jenis risiko khusus seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi dan tsunami. Mulai dari konstruksi, wilayah hingga penggunaan objek.

Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor menyambut baik SE ini. Ia berharap, regulasi ini dapat mengakhiri persaingan tarif yang tak sehat di antara perusahaan asuransi. Menurutnya, persaingan tak sehat ini bisa merugikan masyarakat pemegang polis lantaran perusahaan asuransi tak mampu membayar kewajibannya jika terjadi klaim.

“AAUI meminta perusahaan asuransi dan reasuransi anggota AAUI untuk menjadikan regulasi ini sebagai momen untuk menyehatkan praktik persaingan di antar perusahaan asuransi dan reasuransi,” tutup Julian.
Tags:

Berita Terkait