Pengesahan UU IKN Dinilai Mencederai Mandat Rakyat
Utama

Pengesahan UU IKN Dinilai Mencederai Mandat Rakyat

Selain cacat formil dan abai substansi, proses pemindahan ibu kota dinilai belum melalui kajian mendalam dan komprehensif dengan melibatkan banyak pakar.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Pimpinan DPR saat pengesahan RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022). Foto: RES
Pimpinan DPR saat pengesahan RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022). Foto: RES

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dalam kurun waktu sekitar 40 hari sejak Panitia Khusus (Pansus) dibentuk hingga disetujui dan disahkan menjadi UU menunjukan praktik proses legislasi masih buruk. Apalagi, substansi RUU IKN ini, produk legislasi yang sangat penting dalam menentukan pusat pemerintahan Indonesia ke depannya.

“Cepatnya proses legislasi RUU IKN menjadi UU mengulang praktik sebelumnya seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Proses legislasi yang sangat cepat ini berpotensi menyimpan banyak persoalan,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia ((STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin saat berbincang dengan Hukumonline, Selasa (18/1/2022) kemarin. (Baca Juga: Resmi Disahkan, Begini Substansi UU Ibu Kota Negara)

Sholikin mencatat ada beberapa poin penting terhadap kinerja DPR dan pemerintah dalam kaitan cepatnya pembahasan RUU IKN menjadi UU. Pertama, menutup ruang partisipasi masyarakat. Menurutnya, dalam menyusun RUU IKN nampaknya DPR dan pemerintah sengaja menutup rang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan terhadap substansi RUU IKN.

Padahal, bila ditelaah lebih dalam, materi yang diatur dalam RUU IKN amat penting dalam sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan. Dia berpandangan dalam pembahasannya pun tak terdengar “hingar-bingar” DPR atau pemerintah mengundang masyarakat Kalimantan sebagai lokasi sebagai IKN.

Kedua, pembasan RUU IKN didominasi elit. Sholikin melihat masyarakat sama sekali tak mendapat tempat dalam pembahasan RUU IKN. Pembahasannya pun terkesan hanya didominasi para elit dengan mengabaikan hak partisipasi masyarakat yang dijamin dalam UU dan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Peran serta masyarakat untuk memberikan masukan dalam pembahasan sebuah RUU diatur tegas dalam Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 96 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Ayat (2)-nya menyebutkan “Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi”.

Ketiga, abai terhadap substansi. Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menilai proses penyusunan dan pembahasan RUU IKN telah menutup ruang diskusi para pemangku kepentingan untuk merumuskan materi norma yang diatur dalam RUU IKN. Minimnya partisipasi dan diskusi substansi dapat mengakibatkan lemahnya akuntabilitas RUU IKN baik proses maupun substansi.

Tags:

Berita Terkait