Pengkhayat Kepercayaan Persoalkan Pengosongan Kolom Agama
Berita

Pengkhayat Kepercayaan Persoalkan Pengosongan Kolom Agama

Pemerintah serahkan sepenuhnya pada putusan MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pengumuman pembuatan KTP-el. Foto: SGP
Pengumuman pembuatan KTP-el. Foto: SGP
Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dapat memberikan pertimbangan konstitusional terkait pengaturan kolom agama ini. Empat warga negara penganut aliran kepercayaan dan penghayat mempersoalkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

Beleid ini intinya membolehkan pengosongan kolom agama bagi penganut aliran penghayat/kepercayaan atau agama yang belum diakui dalam setiap kartu identitas diri, seperti KTP elektronik (KTP-el), Kartu Keluarga (KK). (Baca juga: Semua Agama Perlu Pencantuman dalam KTP).

Lewat kuasa hukumnya, Para Pemohon yang antara lain Nggay Mehang Tana dan Pagar Demanra Sirait ini merasa dirugikan atas berlakunya kedua pasal tersebut. Sebab, pengosongan kolom agama pada KTP-el bagi penganut kepercayaan mengakibatkan Para Pemohon kesulitan mendapatkan hak-hak dasar lain yang dijamin konstitusi, seperti hak memperoleh jaminan pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial. (Baca juga: Cara Mengurus Kartu Keluarga Jika Pindah Agama Setelah Menikah).

Misalnya, sulitnya mendapatkan akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, proses pemakaman, hingga sulitnya diterima di tempat kerja karena kolom agamanya kosong yang berakibat aliran penghayat/kepercayaan dituding tidak beragama (atheis). Menurutnya, kedua pasal itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum (diskriminasi). Karena itu, Pemohon minta kedua pasal itu dinyatakan inkonstitusional sepanjang dimaknai frasa kolom agama termasuk juga kolom penghayat kepercayaan dan agama apapun”.

Permohonan ini sudah memasuki sidang pleno mendengarkan tanggapan Pemerintah. Dalam keterangannya, Pemerintah berpandangan keberadaan kolom agama sangat memberikan manfaat baik bagi pemilik identitas maupun negara. Sebagai organisasi besar, bagaimanapun negara harus memiliki tertib administrasi berkaitan dengan identitas penduduk termasuk kolom agama yang diakui di Indonesia sebagai negara yang berketuhanan. Sebab, identitas agama ini akan berkorelasi penting dengan beberapa tertib administrasi di lapangan. Seperti, pernikahan, kewarisan, hak kebendaan, adopsi anak, dan urusan administrasi lain.

"Agama yang dianut seseorang berkorelasi dengan tindakan hukum yang dilakukan. Pernikahan seorang Muslim, identitas agama dalam KTP jadi bukti otentik menentukan agama yang dipeluknya sebelum menikah," ka. ajar Kepala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto mewakili Pemerintah dalam sidang yang diketuai Anwar Usman di Gedung MK, Selasa (06/12).

Meski begitu, kata Widodo, hingga saat ini belum ada satupun agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui Indonesia sebagai agama dengan segala haknya yang dicantumkan dalam KTP-el, akta kelahiran, catatan perkawinan. Padahal, faktanya sebagian masyarakat Indonesia telah memiliki keyakinan atau kepercayaan asli. Seperti, Sunda Wiwitan yang dipeluk masyarakat Kanekes Lebak Banten, agama Cigugur di Kuningan Jawa Barat, agama Buhun di Jawa Barat, agama Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama asli Batak, dan lain-lain. (Baca juga: Mendagri: Soal Kolom Agama KTP Harus Sesuai Aturan).

"Ini menimbulkan banyak penganut kepercayaan atau ajaran leluhur (agama asli di Indonesia) masih terpaksa memilih 6 agama yang diakui atau tidak membuat KTP sama sekali," kata dia.

Merespon dinamika yang berkembang dalam permohonan ini, Pemerintah memohon kepada MK untuk dapat memberikan pertimbangan konstitusional terkait pengaturan kolom agama ini. "Ini dalam rangka menentukan arah kebijakan pemerintah yang lebih baik dalam hal tertib administrasi kependudukan," katanya.
Tags: