Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?
Kolom

Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?

Kemampuan penyidik dan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan terhadap korporasi sebagai pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dianggap masih ada kelemahan.

Bacaan 2 Menit
  1. Asas legalitas. Pembatasan asas legalitas ini telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dengan adanya asas legalitas ini, hakim tidak boleh menghukum suatu perbuatan selama belum ada ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku sebelum dilakukannya perbuatan itu.
  2. Batasan mayor dan minor  (Sudikno, 2007). Sudikno Mertokusumo mengungkapkan bahwa terdapat batasan-batasan mayor dan minor dalam melakukan penemuan hukum. Batasan mayor terdiri dari sistem pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Batasan minor terdiri dari kehendak pihak-pihak yang bersangkutan, pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

 

Persoalan muncul ketika terjadi kekosongan hukum dalam tindak pidana korporasi karena perkembangan pengaturan mengenai tindak pidana korporasi yang terjadi di luar KUHP sebagai lex generalis dalam hukum pidana Indonesia tidak ada satu pun yang lengkap. Kekosongan hukum inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesulitan penegakan hukum serta berdampak pada minimnya putusan tindak pidana korporasi sampai saat ini. Kekosongan hukum dapat diatasi dengan melakukan penemuan hukum oleh hakim dimana salah satu sumber penemuan hukum adalah  doktrin.

 

Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi

Terdapat beberapa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi Indonesia, yaitu: Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) di mana korporasi bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya tanpa melihat ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi semata-mata berdasarkan actus reus-nya; Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) dimana korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan dalam lingkup kerjanya dan karena korporasi mendapatkan keuntungan dari perbuatan tersebut.

 

Selain itu, ada tiga doktrin lainnya yakni: Doktrin Delegasi (Doctrine of Delegation) di mana korporasi bertanggung jawab karena korporasi telah mendelegasikan wewenang kepada orang lain, sehingga perbuatan orang tersebut dinilai sebagai perbuatan korporasi; Doktrin Identifikasi (Doctrine of Identification) di mana korporasi bertanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang bekerja di bawahnya yang dinilai sebagai “directing mind”; dan Doktrin Agregasi (Aggregation Theory) di mana korporasi bertanggung jawab atas niat kolektif dari orang-orang yang bekerja di bawahnya tanpa perlu mengidentifikasi pelaku perseorangan.

 

Menurut Chrisina de Maglie ada empat hal penting yang harus diperhatikan oleh aparat penegak hukum dalam menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu ; (1) Tindakan illegal yang dilakukan tersebut adalah kebijakan perusahaan yang sudah diputuskan oleh perusahaan secara autorisasi, (2) Perbuatan illegal tersebut memang sudah merupak kultur dari perusahaan tersebut, (3) Korporasi lalai atau gagal mencegah terjadinya tindakan illegal tersebut padahal korporasi mengetahuinya, (4) Tidak adanya tindakan korektif dan reaktif dari korporasi terhadap tindak pidana yang terjadi. Keempat hal ini dapat dijadikan pedoman bagi pembentuk peraturan terkait dengan kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana? Kapan korporasi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana?

 

Kembali pada kasus Suwir Laut, menurut hemat penulis, keputusan hakim untuk menerapkan individual vicarious liability di sini adalah kurang tepat secara konsep karena Suwir Laut yang “katanya” menjadi pribadi yang menerima pengalihan tanggung jawab sebenarnya melakukan perbuatan fisik dari tindak pidana. Penulis menilai ada baiknya bentuk pertanggungjawaban yang dikenakan di sini adalah dengan menggunakan konsep penyertaan karena pihak-pihak yang sebelumnya tidak diproses secara hukum dapat diproses.

 

Kalau penulis mengandaikan dengan menerapkan Perja 28/2014 dan Perma 13/2016, penulis berpendapat penegak hukum tetap akan terganjal oleh kekosongan hukum di dalam UU KUP. Persoalan pertanggungjawaban korporasi akan dapat terbantu jika penulis membandingkannya dengan RKUHP karena telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum, disertai dengan pertanggungjawaban dan pengaturan lainnya.

Tags:

Berita Terkait