Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?
Kolom

Penjatuhan Pidana Bagi Korporasi di Indonesia: Sebuah Dilema?

Kemampuan penyidik dan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan terhadap korporasi sebagai pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dianggap masih ada kelemahan.

Bacaan 2 Menit

 

Ketika hakim menjatuhkan pidana terhadap AAG sebagai pihak yang tidak didakwakan, majelis hakim kurang tepat menerapkan teori pertanggungjawaban korporasi dan telah melanggar batas-batas hukum acara pemeriksaan perkara pidana biasa dalam KUHAP, yaitu Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa batasan minor dari suatu penemuan hukum adalah undang-undang, penjatuhan putusan pidana terhadap pihak yang tidak didakwa telah melanggar batasan minor penemuan hukum, sehingga putusan ini tidak dapat dinilai sebagai penemuan hukum.

 

Lahirnya Perma dan Perja

Lahirnya Perja No. 028 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi yang merupakan pedoman penanganan perkara dengan subjek hukum korporasi yang menjadi pedoman bagi jaksa/penuntut umum dalam menangani perkara pidana dengan subjek hukum korporasi sebagai tersangka/terdakwa/terpidana, dianggap belum dapat menyelesaikan keraguan dari jaksa penuntut umum untuk mendakwa korporasi.

 

Menurut Pedoman ini dalam hal undang-undang mengatur subjek hukum korporasi, maka tuntutan pidana diajukan kepada: a. Korporasi; b. Pengurus Korporasi; c. Korporasi dan Pengurus Korporasi. Dalam hal undang-undang tidak mengatur subjek hukum korporasi, maka tuntutan diajukan kepada pengurus.

 

Memang menjadi pertanyaan sebenarnya apa teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut oleh Perja ini, sebab tampaknya merupakan kombinasi dari beberapa teori pertanggungjawaban korporasi yang ada.

 

Selain Perja, produk hukum lainnya terkait tindak pidana korporasi adalah Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi Penetapan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma No. 13/2016) merupakan babak baru dari penegakan hukum tindak pidana korporasi di Indonesia.

 

Di sini yang menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa ketika sudah jelas bahwa "..Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi", mengapa pihak-pihak lain baik bersama dengan korporasi itu sendiri atau bahkan tidak bersama korporasi (dengan adanya kata dan/atau)? Dengan pengaturan seperti itu ada beberapa kemungkin yang dituntut pidana pada tindak pidana korporasi yakni: (1) korporasi saja; (2) pengurusnya/ pemberi perintah/personil pengendali korporasi; (3) korporasi dan pengurusnya/ pemberi perintah/personil pengendali korporasi.

 

Masih Menjadi Persoalan

Pasca dikeluarkannya Perma No.13 Tahun 2016 dan Lahirnya Perja No. 028 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi tentunya diharapkan pelaksanaan penegakkan hukum yang terkait tindak pidana korporasi akan efektif, namun demikian dari tahun 2016 sampai saat ini, hanya beberapa kasus yang diputus dengan menggunakan teori dan asas tindak pidana korporasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait