Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata
Utama

Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata

Alasan force majeur telah berkembang dan mengalami dinamika dalam beberapa putusan hakim perkara perdata.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Dari contoh-contoh putusan yang diberikan, dapat ditarik benang merah bahwa force majeur tidak lagi sebatas peristiwa alam (act of God) dan hilangnya objek yang diperjanjikan, melainkan sudah meluas pada tindakan administratif penguasa, yakni terbitnya kebijakan pemerintah. Dari sinilah muncul pertanyaan kontekstual, apakah kebijakan Pemerintah untuk mengatasi penyebaran virus corona (Covid-19) dapat dijadikan alasan force majeur?

Beberapa putusan yang disebut adalah: Putusan MA No. 15K/Sip/1957 (risiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Tuhan seperti disambar petir, kebakaran, atau dirampas tentara Jepang); putusan MA No. 3389K/Pdt/1984 (tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang mengikat, suatu peristiwa mendadak yang tidak dapat diatasi para pihak yang berjanji); putusan MA No. 409K/Sip/1983 (kecelakaan di laut semisal kapal tenggelam karena ombak besar).

Yurisprudensi Klasik

Jika ditelusuri lebih lama, ada beberapa yurisprudensi yang penting diperhatikan. Pertama, putusan mengenai apakah ombak dan angina kencang yang menyebabkan air laut masuk ke dalam perahu dan membasahi gula muatan perahu dapat dijadikan force majeur. Putusan Hogerrechtshof Batavia  17 September 1925 menyebutkan bahwa perahu akan selalu menghadapi ombak dan angin di laut, sehingga ‘angin dan ombak besar’ tidak pernah dapat dianggap  sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diduga. Apalagi, pengangkutan dilakukan pada musim Timur, pada saat mana angina muson sering melanda. Orang baru dapat saja mengemukakan adanya keadaan memaksa, kalau dibuktikan, bahwa ada angina dan ombak yang sedemikian luar biasa kuatnya, sehingga tidak patut untuk menuntut (redelijkerwijze niet geeist kon worden), bahwa perahu pihak Pembanding harus kuat menghadapinya.

Ada juga kisah tentang asuransi yang dimuat J. Satrio dalam bukunya Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya (1999:271-272). Seorang warga menggugat perusahaan asuransi dan meminta perusahaan asuransi membayar santunan bulanan sesuai perjanjian asuransi jiwa suaminya yang meninggal dalam perang (Perang Dunia II). Perusahaan asuransi berdalih pertanggungan sudah dihapus karena penggugat tidak membayar premi. Penggugat berdalih tidak dapat membayar premi karena suasana perang. Dengan kata lain, ia menjadikan suasana perang sebagai keadaan memaksa.

Satrio memberikan komentar atas kasus ini, jika jumlah pembayaran santunan oleh perusahaan asuransi kepada tertanggung yang meninggal saat perang jauh melampaui the law of the average, maka perusahaan asuransi dapat menjadikannya sebagai keadaan memaksa untuk membebaskan diri dari perikatan.

Ada lagi kasus yang pernah diputus Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta (1955) tentang perselisihan antara pemesan sepeda motor merek AJS dengan perusahaan. Perusahaan berjanji akan mendatangkan sepeda motor yang dipesan dalam waktu empat bulan. Lantaran hingga batas waktu yang diperjanjikan perusahaan tak menjalankan kewajibannya, pemesan mengajukan gugatan ke pengadilan. Ia meminta pengadilan memerintahkan perusahaan menyediakan sepeda motor yang dipesan disertai uang paksa. Perusahaan menggunakan keadaan memaksa atau overmacht sebagai dasar menghindari kewajiban. Keadaan memaksanya adalah importer –tempat perusahaan memesan motor—tidak mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengimpor motor dimaksud. Saat itu juga keluar aturan baru bahwa satu perusahaan hanya boleh mengimpor satu merek kendaraan. Izin impor motor AJS jatuh ke perusahaan lain.

Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta menolak alasan force majeur tersebut. Hakim menyatakan perusahaan tetap dapat mengusahakan sepeda motor dimaksud dari perusahaan lain tanpa harus melanggar undang-undang. “Apa yang dikemukakan oleh Tergugat tidak dapat dipergunakan sebagai force majeur,” demikian antara lain isi pertimbangan hakim. Dengan kata lain, jika masih ada opsi lain untuk memenuhi kewajiban, maka alasan force majeur tidak dapat diterima.

Tags:

Berita Terkait