Juru Bicara MA Suhadi mengakui MA telah menerbitkan PERMA baru terkait pedoman mengadili perkara ketika perempuan berhadapan dengan hukum di pengadilan. “Iya, kita telah menerbitkan PERMA baru mengenai pedoman bagi para hakim ketika mengadili perempuan yang berkonflik dengan hukum di pengadilan,” ujar Suhadi saat dihubungi Hukumonline, Rabu (9/8/2017).
Suhadi menjelaskan isi PERMA ini sebenarnya lebih diarahkan pada panduan sikap (attitude) para hakim ketika mengadili perkara yang berhubungan dengan perempuan baik sebagai korban, saksi, maupun sebagai terdakwa (pihak terkait). Artinya, para hakim harus lebih menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan terutama ketika berkonflik dengan permasalahan hukum di pengadilan.
“Makanya, PERMA ini memuat larangan bagi hakim ketika menghadapi perempuan dalam persidangan. PERMA ini tidak mengubah hukum acara peradilan, sidangnya tetap terbuka, dan berhak didampingi kuasa hukum dan lain-lain,” ujar Suhadi. Baca Juga: Lima Belas Bentuk Kekerasan Seksual
Dia mengakui selama ini memang banyak kasus bias gender terhadap kaum perempuan yang kerap dilecehkan, disudutkan, seperti kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Akan tetapi, terbitnya PERMA ini bukan hanya banyaknya kasus pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga lebih pada penguatan perlindungan terhadap perempuan ketika berhadapan dengan hukum di pengadilan.
“Terbitnya PERMA ini juga bukan karena selama ini pengadilan tidak menghormati hak-hak perempuan, tetapi juga lebih pada penguatan perlindungan. Jadi, sikap hakim saat mengadili menyesuaikan dengan kondisi perempuan, misalnya, saat mengadili tidak boleh membentak, menyudutkan, dan sikap-sikap yang tidak etis,” kata Hakim Agung Kamar Pidana ini.
Lebih lanjut, Suhadi menerangkan melalui PERMA ini perempuan berhak menunjuk pendamping secara bebas saat menjadi terdakwa, korban, saksi. “Dia berhak menunjuk pendamping, dari orang atau lembaga yang dipercaya, tidak harus advokat,” lanjutnya.
Menurut Suhadi, terbitnya PERMA ini tidak lepas dari hasil kesepakatan dalam Pertemuan Para Hakim Perempuan se-ASEAN di Bangkok pada 2016 lalu. Saat itu, beberapa perwakilan hakim perempuan dari masing-masing negara menyepakati untuk membuat regulasi yang benar-benar menghormati dan melindungi harkat-martabat perempuan. “Tetapi, bukan berarti (pengadilan) selama ini tidak menghormati (hak perempuan),” tegasnya.
Dia menambahkan PERMA ini juga mengatur kewenangan MA ketika menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang sepanjang aturan yang diuji berhubungan dengan perempuan yang berhadapan dengan hukum. “Nanti, kita akan sosialisasi PERMA ini sekaligus bersama aturan sistem peradilan pidana anak, KDRT, traffiking (perdagangan orang). Kita berharap implementasi PERMA ini semakin lebih baik dan sempurna agar lebih melindungi perempuan,” harapnya.
Terpisah, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan menyambut baik terbitnya PERMA Pedoman Mengadili Perkara Perempuan ini. Dia menerangkan PERMA ini tidak hanya berlaku dalam ruang lingkup peradilan pidana, tetapi juga peradilan perdata termasuk persoalan hukum waris ketika terjadi dispute di pengadilan.
Menurut dia, selama ini penanganan banyak kasus di pengadilan justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan baik sebagai terdakwa, korban, ataupun saksi. Alhasil, atas fakta ini, MA merespon dengan baik dan membahasnya secara intensif dan produktif bersama Kelompok Kerja Perempuan dan Anak MA. Baca Juga: 4 Jenis Kekerasan Kerap Dialami Buruh Perempuan
“Selama tahun 2015-2016, MaPPI FHUI bersama LBH APIK melakukan penelitian penanganan perkara pidana yang melibatkan perempuan. Ada ratusan putusan pengadilan, hasil wawancara, dan focus group discussion (FGD) kita kaji. Hasilnya, kami menemukan ada ketidakadilan dalam penanganan perkara ketika perempuan berhadapan dengan hukum,” ujar Choky yang lembaganya pernah dilibatkan dalam proses penyusunan PERMA ini.
Dia mencontohkan dalam beberapa penanganan kasus ditemukan ada semacam stereotip, perlakuan diskriminatif. Misalnya, korban perkosaan seringkali "diperiksa" oleh hakim dan penegak hukum lain mengenai riwayat seksual (masih perawan atau tidak?), pakaian apa yang dikenakan termasuk menanyakan "gaya" apa yang dilakukan oleh pelaku dan sebagainya.
“Kondisi ini membuat penanganan perkara di pengadilan menjadi kurang optimal dalam memberi perlindungan dan keadilan terhadap perempuan,” terangnya.
Seperti diketahui, ada beberapa poin-poin penting yang harus diperhatikan dalam PERMA Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pertama, PERMA ini berasaskan: penghargaan harkat martabat dan martabat manusia; nondiskriminasi; kesetaraan gender; persamaan di depan hukum; keadilan; kemanfaatan; dan kepastian hukum.
Kedua, hakim dilarang bersikap: misalnya menunjukkan sikap merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum; membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, atau penafsiran ahli yang bias gender; mengeluarkan pandangan/pernyataan yang mengandung stereotip gender; dan lain-lain.
Ketiga, hakim wajib mempertimbangkan: kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan dan hukum tidak tertulis; menafsirkan aturan atau hukum tidak tertulis yang menjamin kesetaraan gender; menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal, rasa keadilan guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan setara, dan nondiskriminasi; konvensi/perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.
Keempat, dalam persidangan hakim wajib mencegah para pihak yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi, menggunakan latar belakang seksualitas perempuan yang berhadapan dengan hukum. Kelima, ketika perempuan mengalami gangguan fisik dan psikis dibolehkan menghadirkan pendamping. Keenam, memberi beberapa panduan bagi MA ketika mengadili uji materi peraturan terkait perempuan yang berhadapan dengan hukum.