4 Jenis Kekerasan Kerap Dialami Buruh Perempuan
Berita

4 Jenis Kekerasan Kerap Dialami Buruh Perempuan

Perlu upaya pencegahan bersama di lokasi kerja.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pekerja hamil di tempat kerja. Foto: SGP
Ilustrasi pekerja hamil di tempat kerja. Foto: SGP
Berbagai hak-hak buruh perempuan telah diatur dalam beberapa peraturan yang diterbitkan pemerintah seperti UU No. 13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan dan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Walau telah diatur dan dilindungi secara hukum, pada praktiknya masih sering terjadi pelanggaran. [Baca juga: Pemerintah Perlu Ratifikasi Konvensi ILO 183]

Sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Pokja Buruh Perempuan mencatat di tahun 2016 dari 80 perusahaan yang beroperasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, 15 perusahaan ditemukan ada kasus kekerasan seksual. Pokja Buruh Perempuan telah mendesak lembaga pemerintahan terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan pencegahan.

Perwakilan Pokja Buruh Perempuan dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih, menilai upaya antisipasi dan preventif yang dilakukan Dinas Ketenagakerjaan dan pengusaha terhadap ancaman kekerasan yang dialami buruh di tempat kerja belum optimal. Pelaku kekerasan seksual di tempat kerja bisa siapa saja, mulai dari rekan kerja sampai atasan. “Buruh perempuan, terutama di industri padat karya seperti garmen/ masih mengalami kekerasan seksual di tempat kerja,” kata Jumisih dalam jumpa pers di LBH Jakarta, Kamis (24/11).

Jumisih mengatakan Pokja Buruh Perempuan juga meminta pihak Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung melakukan upaya aktif mencegah terjadinya kekerasan. KBN Cakung, kata Jumisih, bersedia  menjadi tempat percontohan kawasan industri yang mengkampanyekan anti kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap buruh perempuan. Pemasangan tanda atau plang segera dilakukan di pintu masuk KBN Cakung.

Pokja Buruh Perempuan mencatat ada 4 jenis kekerasan yang kerap dialami buruh perempuan di tempat kerja. Pertama, kekerasan seksual seperti mengomentari bentuk tubuh atau cara berpakaian buruh perempuan, dipaksa kencan oleh atasan bahkan diperkosa. Kemudian, saat mengajukan cuti haid buruh perempuan yang bersangkutan diperiksa dengan cara menunjukan darahnya.

Kedua, kekerasan fisik seperti dipukul, dijewer, dicubit, dilempar benda keras dan digebrak meja. Ketiga, kekerasan verbal misalnya diancam atau diintimidasi dengan kata kasar, menakut-nakuti, menghina dan memaki. (Baca juga: Hak Pekerja Perempuan Masih Terabaikan).

Keempat, pelanggaran hak maternitas seperti keguguran di tempat kerja tidak dianggap kecelakaan kerja, tidak ada fasilitas bagi ibu hamil dan ruang laktasi. Lalu sulitnya mendapat cuti haid dan tidak ada tunjangan bagi buruh yang hamil dan melahirkan. (Baca juga: Pekerja Hamil Belum Dapat Perlakuan Khusus).

Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh buruh perempuan yang bekerja di industri manufaktur, tapi juga di sektor industri lain seperti media. Anggota divisi serikat pekerja AJI Jakarta, Hayati Nupus, mengatakan kekerasan yang dialami jurnalis perempuan bukan saja terjadi di lapangan (ketika bertugas) tapi juga di kantor. “Dalam tiga tahun terakhir sedikitnya terjadi 15 kasus kekerasan yang dialami buruh perempuan yang bekerja di industri media,” ujarnya.

Hal serupa juga dialami buruh perempuan yang bekerja di atas kapal laut. Perwakilan Pokja Buruh Perempuan dari PPI, Khadijah, mengatakan sejak melamar pekerjaan untuk menjadi pelaut dan awak kapal, perempuan mengalami diskriminasi karena yang diutamakan untuk pekerjaan itu kaum pria. Padahal, perempuan punya potensi yang sama seperti pria, mereka juga mengikuti pelatihan yang sama.

Khadijah berharap pemerintah menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap buruh perempuan di tempat kerja, terutama bagi pelaut dan awak kapal. Apalagi pemerintah telah meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006 melalui UU No.15 Tahun 2016. Salah satu ketentuan dalam konvensi itu mengamanatkan tidak ada diskriminasi. “Data Kementerian Perhubungan memperikirakan dari 27 ribu pelaut Indonesia, 0,6 persennya kaum perempuan,” tukasnya.

Pengacara publik LBH Jakarta, Okky Wiratama Siagian, mengatakan LBH Jakarta sering mendampingi kasus kekerasan seksual termasuk yang dialami buruh. Dia menegaskan Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur secara jelas setiap buruh berhak memperoleh perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Selain itu pasal 289 KUHP mengatur tentang pencabulan dan mengancam pelakunya pidana paling lama 9 tahun. Guna memberi payung hukum yang lebih kuat, Okky menilai pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Buruh perempuan banyak yang tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Apalagi pelakunya atasannya sendiri, buruh khawatir ketika melapor dia akan dipecat atau diputus kontraknya,” pungkas Okky.
Tags:

Berita Terkait