Pemerintah Perlu Ratifikasi Konvensi ILO 183
Berita

Pemerintah Perlu Ratifikasi Konvensi ILO 183

Guna melindungi hak reproduksi pekerja perempuan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Perlu Ratifikasi Konvensi ILO 183
Hukumonline
Perlindungan terhadap pekerja perempuan belum maksimal. Menurut Ketua Komite Perempuan IndustriAll Indonesia Council, Lilis Mahmudah, kurang maksimalnya perlindungan itu dapat dilihat antara lain dari keengganan pemerintah Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas.

Konvensi ILO ini, menurut Lilis, memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap pekerja perempuan. Misalnya, hak cuti melahirkan pekerja perempuan minimal 14 pekan. Bandingkan, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya memberi cuti melahirkan selama 12 pekan.

Dari survei yang dilakukan IndustriAll terhadap 451 pekerja perempuan, Lilis mengatakan sebanyak 48 persen lebih memilih untuk menggunakan cuti melahirkan selama 3 bulan itu secara fleksibel. Sehingga mereka bebas memilih dan menyesuaikan waktu cuti.

Biasanya, cuti hamil baru diambil oleh pekerja yang bersangkutan satu atau dua pekan sebelum hari perkiraan melahirkan. Menurut Lilis, itu dilakukan karena pekerja perempuan ingin merawat anaknya dalam waktu yang lebih lama. Tapi yang jelas, hasil survei itu menunjukan cuti melahirkan selama 3 bulan sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan belum cukup.

“Kami mendorong pemerintah baru agar konvensi ILO No. 183 diratifikasi. Konvensi itu mengatur cuti melahirkan minimal 14 minggu dan selama cuti upah pekerja dibayar penuh serta pekerjaan si pekerja tidak hilang,” kata Lilis dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (19/11).

Selain itu Lilis juga menyoroti soal cuti haid. Lewat survei tersebut ditemukan dari 451 pekerja perempuan yang jadi responden 40 persen diantaranya harus menyertakan surat keterangan dokter untuk mendapat cuti haid. 20 persen responden mengisi formulir yang disediakan perusahaan dan 27 persen harus memberitahukan kepada atasan atau klinik di perusahaan.

Ironisnya, ada juga pengusaha yang menerbitkan peraturan untuk memeriksa langsung pekerja perempuan yang ingin mengambil cuti haid. Pemeriksaan itu dilakukan lewat klinik di perusahaan, tapi ada juga yang memeriksa adalah orang yang tidak sepatutnya yaitu satpam.

Survei itu menyimpulkan pekerja perempuan kesulitan mengambil cuti haid karena prosedur yang diterapkan di perusahaan rumit. Terutama yang harus melewati tahap “pemeriksaan” oleh pihak perusahaan. “Ujungnya mereka tidak menggunakan hak cuti haidnya,” tutur Lilis.

Steering Committee IndustriAll, Chandra Mahlan, menegaskan cuti haid dan melahirkan adalah hak normatif pekerja yang sudah diatur sejak UU No. 1 Tahun 1951 tentang Berlakunya UU Kerja Tahun 1948 No. 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia. Bahkan ia menilai UU tersebut lebih progresif ketimbang UU Ketenagakerjaan. Misalnya, UU Ketenagakerjaan mengatur sebelum menggunakan cuti haid pekerja perempuan yang bersangkutan harus membuktikannya. Padahal dalam UU No.1 Tahun 1951, pembuktian itu tidak diperlukan. "UU No.1 Tahun 1951 menegaskan pekerja perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid,” tukas Chandra.

Dalam rangka perlindungan reproduksi pekerja perempuan, selain meratifikasi Konvensi ILO No. 183, Chandra mengusulkan pemerintah menerbitkan keputusan terkait perlindungan maternitas dan cuti haid di tempat kerja. Keputusan itu dapat diterbitkan lewat keputusan bersama antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Kepada federasi serikat pekerja, Chandra mengimbau agar dilakukan pembaruan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tingkat perusahaan. Sehingga PKB itu memberikan perlindungan maksimal terhadap maternitas dan hak reproduksi pekerja perempuan.
Tags:

Berita Terkait