Pentingnya Menempatkan UUD 1945 sebagai Revolutie Grondwet
Berita

Pentingnya Menempatkan UUD 1945 sebagai Revolutie Grondwet

UUD 1945 sebagai revolutie grondwet untuk instrumen/alat ukur mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 guna menafsirkan sistem hukum ketatanegaraan yang akan dibangun.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Acara peluncuran dan bedah buku berjudul
Acara peluncuran dan bedah buku berjudul

Istilah revolutie grondwet kali pertama diucapkan Presiden Soekarno di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Padahal, istilah tersebut mengandung makna revolusioner lantaran sebagian kalangan ahli politik dan hukum tata negara pernah pernah mengamandemen UUD 1945 pada 1999 hingga 2002 (perubahan I-IV).  

 

Demikian pandangan anggota Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari dalam sebuah diskusi tentang buku hasil karyanya berjudul UUD 1945 sebagai Revolutie Grondwet (Tafsir Postkolonial atas Gagasan-Gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia) di Komplek Gedung MPR, Jakarta, Senin (13/8/2018) kemarin.  

 

“Oleh karena itu, penggunaan istilah hukum itu termasuk pemaknaanya tidak dapat dilakukan secara suka-suka,” kata Aidul dalam paparannya.  

 

Buku setebal 189 halaman itu berupaya menempatkan kembali makna revolutie grondwet sesuai kedudukan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia yang berkarakter revolusioner dan berfungsi sebagai instrumen perubahan sosial di Indonesia. Aidul berpendapat, awalnya makna revolusi dalam kontek revolutie grondwet dipahami sebagai pemikiran yang berkembang di kalangan para pendiri bangsa atau kaum pergerakan kemerdekaan.

 

Kala itu, Sukarno berpendapat UUD 1945 sebagai revolutie grondwet bersifat sementara. Namun kenyataannya, UUD 1945 mampu bertahan selama masa revolusi kemerdekaan 1945-1949 dan setelahnya. Hal tersebut membuktikan UUD 1945 sebagai revolutie grondwet. Menurut Aidul rancangan UUD 1945 sejak awal disadari dalam rangka menghadapi situasi genting yang dihadapi bangsa Indonesia yang kala itu masih terbilang muda.

 

Namun, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) itu sifat kesementaraan dari UUD 1945, perlahan-lahan berkurang dengan kenyataan bahwa efektivitas UUD 1945 mengiris proses revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. “Revolutie grondwet bukan lagi bermakna kesementaraan, tetapi sudah berkembang menjadi makna sesungguhnya sebagai UUD yang berkarakter revolusioner,” tegasnya.

 

Baginya, UUD 1945 sebagai revolutie grondwet bermakna bahwa UUD 1945 sebagai UUD yang mengandung gagasan revolusi Indonesia yang berwatak nasional dan sosial. Tujuannya, kata Aidul, sebagai dekolonisasi dan perubahan sosial ke arah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Namun istilah revolutie grondwet muncul kembali seiring dengan proses reformasi yang berkenaan dengan gagasan perlunya amandemen UUD 1945. Menurutnya, istilah revolutie grondwet hanya digunakan dalam menandai proses penyusunan UUD 1945 yang dilakukan dalam waktu cepat (dimaknai sempit). Sayangnya, kata Aidul, makna revolutie grondwet ini tidak digali sebagai sebuah konsep besar tentang revolusi itu sendiri.

 

Para pengamandemen UUD 1945, sambung Aidul, masih memaknai revolutie grondwet sebagai sebuah proses. Sementara pengertian proses, revolutie grondwet bermakna sebatas konstitusi yang dibuat masa revolusi yang berlangsung cepat. “Praktiknya pengertian konseptual revolutie grondwet, hanya sebatas konstitusi yang mengandung konsepsi revolusioner atas terjadinya proses dekolonisasi politik, sosial, dan ekonomi.” 

 

Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila, Hendro Nurcahyo menilai karya buku Aidul ini memiliki pijakan positif dan dapat menjadi rujukan bagi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara yang berkaitan dengan ekonomi dan hukum. Ia menilai gagasan Aidul mesti diaktualisasikan dengan menjadikan UUD 1945 sebagai revolutie grondwet.

 

“Tapi (selama ini) maknanya dijadikan sebagai UUD sementara yang (dengan mudah) bisa diubah. Padahal, ada makna tersembunyi yang belum digali yakni makna revolusionernya UUD 1945 itu,” ujarnya.

 

Bunuh diri konstitusional

Sejak era reformasi bergulir, UUD 1945 mengalami beberapa kali amandemen/perubahan. Dampaknya, sistem perekonomian pun mengalami perubahan drastis. Kebijakan ekonomi politik yang bertujuan menciptakan struktur ekonomi nasional dan berpihak pada usaha ekonomi rakyat, praktiknya berbeda dengan yang dijalankan rezim orde baru. Sebab, kebijakan politik ekonomi orde baru dinilai berpihak pada konglomerat.

 

Lalu, peralihan rezim kekuasaan ke tangan BJ Habibie mampu membuktikan UUD 1945 berhasil menjadi instrumen yuridis dalam peralihan kekuasaan politik, melalui cara damai menuju arah sistem demokrasi tanpa mengubah susunan ketatanegaraan. Kata lain, kata Aidul, makna UUD 1945 sebagai revolutie grondwet ini berhasil diterjemahkan oleh pemerintahan BJ Habibie.

 

“Bukan dengan mengamandemen UUD 1945, melainkan pengertian implementasi UUD 1945 sebagai konstitusi berorientasi perubahan secara revolusioner dari struktur kolonial ke arah struktur nasional,” dalihnya. 

 

Pemerintahan BJ Habibie berumur pendek, hanya bertahan 570 hari. Kepemimpinan nasional berpindah ke Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Sukarnoputri sebagai wakil presiden. Era kepemimpinan sejak 1999-2004, meningkatnya kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang supremasi dan susunan ketatanegaraan. Misalnya, adanya sidang tahunan MPR untuk meminta laporan kinerja seluruh lembaga tinggi negara.

 

Meski begitu, penguatan kapasitas MPR justru dihancurkan sendiri oleh MPR melalui amandemen 1945. Menurutnya Aidul, alih-alih memperkuat kewenangannya, MPR malah memangkasnya kekuasaannya sendiri. Alhasil, MPR tak lagi dapat disebut sebagai lembaga pemegang supremasi kedaulatan rakyat.

 

“Ini ‘bunuh diri konstitusional’ terutama menghilangkan wewenang MPR untuk menetapkan GBHN yang merupakan instrumen yuridis bagi perwujudan UUD 1945 sebagai revolutie grondwet,” lanjutnya.

 

Konsekuensi perubahan tersebut, MPR menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan presiden sebagai kepala eksekutif. Tentunya, hubungan yang dijalankan berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan dan mekanisme pemeriksaan dan keseimbangan (check and balance). Menurutnya, mengembalikan kembali kedudukan UUD 1945 sebagai revolutie grondwet menjadi penting sebagai instrumen mengevaluasi hasil amandemen UUD 1945 yang sudah dilakukan (constitutional life).

 

“Pemaknaan atas gagasan revolutie grondwet diharapkan dapat menjadi alat evaluasi terhadap hasil amandemen UUD 1945.”

 

Sementara Hendro Nurcahyo berpendapat keberadaan MPR dalam sistem ketatanegaraan merupakan ide yang original. Menurutnya, lembaga ini pendekatannya melalui demokrasi politik dan ekonomi merupakan refleksi dari Pasal 33 UUD 1945 dengan adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Semestinya, kata dia, MPR tidak melakukan ‘bunuh diri konstitusi’.

 

“Sistem MPR ini original dan karya bangsa Indonesia sendiri. Kalau ide kesementaraan kita tanggalkan, ide revolusionernya kita gali. Revolusioner itu simpul penting untuk menafsirkan sistem hukum (ketatanegaraan) yang akan kita bangun,” katanya.

Tags:

Berita Terkait