Penyebab Terorisme di Eropa, dari Bullying hingga Salah Ngaji
Berita

Penyebab Terorisme di Eropa, dari Bullying hingga Salah Ngaji

“Mereka justru sekarang belajar counter terrorism dari kita.”

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Suasana Kuliah Umum yang disampaikan oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa Yuri O Thamrin di Kampus Pascasarjana Universitas Indonesia,  Jakarta, Rabu (18/10).
Suasana Kuliah Umum yang disampaikan oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa Yuri O Thamrin di Kampus Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (18/10).
Aksi-aksi teror di kawasan Eropa semakin meningkat beberapa tahun belakangan ini. Teror-teror ini tentu saja berdampak pada pertumbuhan ekonomi di benua biru itu. Di Perancis yang berungkali mengalami aksi teror, pertumbuhan ekonominya bahkan menjadi 0 persen. Banyak wisatawan yang enggan datang ke sana.

“Pertanyaannya sekarang bukan ‘if’, tapi ‘when’,” ujar Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Yuri O Thamrin saat memberikan kuliah umum di kampus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Selasa sore (19/10). 

Lalu, apa penyebab aksi terorisme itu meningkat? Yuri menganalisis ada banyak faktor, di antaranya adalah tindakan bullying terhadap anak-anak imigran hingga kesalahan memilih guru dalam belajar agama. (Baca Juga: Belajar Right of Fair Trial dari Negara Eropa).

“Kenapa teroris sekarang subur di Eropa? Pertama, ini berkaitan dengan warga pendatang generasi kedua di Eropa,” ujarnya.

Yuri menjelaskan bahwa para imigran di Eropa awalnya memang diundang untuk datang ke Eropa pasca perang dunia kedua. Saat itu, sejumlah negara Eropa membutuhkan banyak pekerja kasar. Nah, setelah fase ini berlalu, masalah kini timbul dengan anak-anak imigran yang sudah beranjak dewasa.  

Para anak-anak muda itu, lanjut Yuri, seakan kehilangan identitas asalnya. Baik dari identitas negara asal orangtuanya maupun identitas negara tempat mereka tinggal saat ini. “Anak-ana muda itu menjadi anonim,” ujarnya.

Kedua, jelas Yuri, para imigran generasi kedua ini merasa diperlakukan berbeda hingga mencapai derajat diskriminasi. “Mereka merasa di-bully. Uni Eropa itu ngomong HAM-nya saja kencang sekali, tapi saya tahu persis perlakuan beda itu ada,” tuturnya. (Baca Juga: Pertemuan Imigrasi ASEAN Bahas Pencegahan Teroris Asing).

Yuri menuturkan bahwa salah satu koran terbesar di Amerika Serikat, New York Times, bahkan pernah menerbitkan laporan dengan sebutan apartheid terkait kasus pelarangan burqa di Perancis. Apalagi, kasus terakhir, adalah pelarangan penggunaan Burkini di sejumlah pantai di Perancis.

“Itu sesuatu yang memalukan. Padahal 47 persen yang menggunakan Burkini itu bukan orang Muslim,” jelasnya.

Ketiga, Yuri mengungkapkan bahwa banyak anak-anak muda imigran di Eropa salah memilih guru ketika belajar agama. “Ngajinya salah,” tuturnya sambil menyebut salah satu tokoh yang terkenal memiliki pandangan ekstrem di Eropa. (Baca Juga: Teroris Indonesia Dibiayai Asing, Pemerintah Diminta Tegas).

Belajar dari Indonesia
Ketika ditanya apakah hal yang bisa dipelajari dari Uni Eropa dalam melakukan counter terrorism, Yuri malah berkata sebaliknya, “Mereka justru yang sekarang belajar dari kita,” ujarnya ketika ditemui usai kuliah umum.

Yuri menuturkan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan Indonesia cukup menarik bagi Uni Eropa untuk dipelajari. Ia mengatakan saat ini Indonesia, selaku negara muslim terbesar di dunia, sedang melakukan ideological debate. Debat semacam ini dinilai cukup efektif dalam melakukan deradikalisasi.

“Kita sedang engage untuk menempatkan Islam toleran,” tuturnya. (Baca Juga: Definisi ‘Teroris’ Saja Tidak Ada).

Sebagai informasi, Yuri menyampaikan paparan ini dalam Kuliah Umum bertajuk “Kemitraan Strategis Eropa – Asia Pasifik”. Kuliah umum ini diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Kajian Eropa, Sekolah Kajian Ilmu Strategik dan Global, Universitas Indonesia. Koordinator Sekolah Kajian Ilmu Strategik dan Global UI Elizabeth Kristi Poerwandari mengatakan bahwa diundangnya Yuri O Thamrin untuk mengisi kuliah umum bertujuan untuk memberikan gambaran secara luas seputar permasalahan di Uni Eropa dan Asia Pasifik. 
Tags:

Berita Terkait