Penyelesaian RUU Pembentukan Peraturan Harus Jadi Perhatian Khusus Pembentuk UU
Berita

Penyelesaian RUU Pembentukan Peraturan Harus Jadi Perhatian Khusus Pembentuk UU

Presiden disarankan segera menugaskan Menkumham dalam proses pembahasan revisi UU 12/2011 sebagai prioritas utama dalam kurun waktu dua bulan ke depan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Badan Legislasi DPR tengah menyusun draf Revisi Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang ditargetkan rampung akhir Juli 2019. Hal ini untuk mengantisipasi sejumlah RUU yang tidak selesai dibahas DPR dan pemerintahan periode 2014-2019 dan bisa dilanjutkan pemerintahan berikutnya (carry over). Untuk itu, Presiden Joko Widodo perlu mendorong menteri terkait agar segera mendorong penyelesaian RUU ini.  

 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai mekanisme carry over dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangan sejalan dengan arah politik legislasi agar berjalan secara efektif dan efisien. Untuk itu, presiden perlu mendorong Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) agar responsif mendorong segera disahkannya revisi UU 12/2011.

 

Sebab, pengesahan revisi UU 12/2011 ini menguntungkan pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU demi keberlanjutan pembahasan RUU dalam Prolegnas 2019. Apalagi, kata Sholikin, sistem carry over ini tidak memiliki dimensi politik yang luas, sehingga  pemerintah dan DPR bisa segera bersepakat membahas dan mengesahkan revisi UU 12/2011 dalam kurun waktu dua bulan ke depan.

 

“Menkumham beberapa bulan lalu di ruang Baleg DPR sempat berujar bakal serius mengatur carry over dalam revisi UU 12/2011,” kata Sholikin saat dihubungi, Selasa (23/7/2019). Baca Juga: DPR Bakal ‘Kebut’ Pembahasan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

 

Hanya saja, kata Sholikin, tantangan revisi terbatas UU 12/2011 adalah ketersediaan waktu yang sangat pendek, tersisa satu masa sidang pertengahan Agustus hingga September. Sementara proses pengesahan RUU cukup panjang, mulai persetujuan paripurna, penyampaian ke presiden, penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM), penyampaian surat presiden (surpres), pembahasan, hingga pengesahan menjadi UU dalam rapat paripurna.

 

PSHK menganggap mekanisme sistem carry over ini, pemerintah dan DPR harus memberikan prioritas khusus agar RUU yang sudah dibahas tidak sia-sia. Menurutnya, pengaturan carry over dapat memangkas biaya legislasi yang besar dari sisi pemerintah dan DPR, sehingga kinerja legislasi lebih lebih efektif dan efisien. Di tengah kecenderungan kinerja legislasi DPR yang menurun pada periode ini.

 

Dia melanjutkan pengaturan carry over perlu memberi ruang bagi anggota DPR berikutnya untuk mempelajari dalam menyusun perencanaan legislasi. Seperti RUU mana saja yang disepakati untuk dilanjutkan pembahasannya. Yang terpenting, saran dia, dalam mempercepat proses pengesahan RUU ini, DPR dan pemerintah perlu menyepakati substansi yang direvisi secara terbatas pengaturan carry over.

 

“Apabila menyentuh substansi lain pembahasannya pasti tidak mendalam. Tapi, kalau perbaikan sistem perundang-undangan dalam UU 12/2011 saat ini perlu perubahan komprehensif,” sarannya.

 

Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucis Karius menilai pembahasan dan pengesahan revisi UU 12/2011 mendesak dilakukan. Mengingat nasib sejumlah RUU sudah di tahap pembahasan tingkat I. Presiden, kata Lucius, mesti menunjukan komitmen dan keseriusannya terhadap bidang legislasi ini.

 

“Jangan karena Presiden didukung banyak koalisi partai di DPR, ia merasa tak punya tantangan di bidang legislatif, sehingga ia justru terjebak dalam arus ‘kesantaian’ dalam tugas bidang legislasi,” kata dia.

 

Menurutnya, bila presiden berkeinginan “menggenjot” produktivitas bidang legislasi, menjadi keharusan mendukung percepatan revisi UU 12/2011 ini. Karena itu, presiden segera menugaskan menteri terkait (Menkumham) dalam proses pembahasan revisi UU 12/2011 sebagai prioritas utama dalam kurun waktu dua bulan ke depan.

 

“DPR akan lebih produktif karena sebagian RUU yang pembahasannya sudah pada pembicaraan tingkat I bisa membuat kinerja legislasi semakin efektif dan efisien. Semestinya ini bisa membuat mereka (pembentuk UU) ngegas menyelesaikannya, kalau kebutuhan DPR dan pemerintah sama,” harapnya.

 

Tabrak esensi pemilu

Hal berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi. Dia tak sependapat dengan mekanisme carry over dalam revisi UU 12/2011. Dia beralasan pengaturan carry over demi keberlanjutan pembahasan RUU ini berpotensi bertentangan dengan praktik sistem ketatanegaraan yang sudah berjalan selama ini.

 

Dia menerangkan penyusunan sebuah UU tidak terlepas dari politik hukum DPR dan pemerintahan dalam periode tertentu yang diwujudkan dengan keberadaan program legislasi nasional (prolegnas). Baginya, gagasan ini “menabrak” esensi dari pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota DPR dan Presiden dalam periode tertentu.

 

“Bagaimana mungkin, produk pemilu sebelumnya digunakan pijakan untuk produk pemilu berikutnya?” ujarnya kepada Hukumonline.

 

Menurut dia, presiden dan anggota DPR yang mayoritas sama untuk periode selanjutnya, tidak dapat dijadikan pijakan membuat norma. Sebab, bisa saja di masa mendatang, presiden dan DPR-nya berbeda dengan periode sebelumnya atau benar-benar baru semuanya.

 

Dosen  Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara itu menilai ide carry over agar pembahasan RUU dapat dilanjutkan di periode berikutnya tampak memberi kesan baik agar pembahasan RUU tidak sia-sia. Namun, tegasnya hal ini berpotensi "menabrak" praktik ketatanegaraan di Indonesia. “Di samping juga dapat menjadi alat legitimasi ‘kemalasan’ DPR dan pemerintah dalam penyelesaian RUU,” katanya.

Tags:

Berita Terkait