Penyusunan Prolegnas 2021 Seharusnya Berbasis Kebutuhan Hukum Masyarakat
Berita

Penyusunan Prolegnas 2021 Seharusnya Berbasis Kebutuhan Hukum Masyarakat

Misalnya RUU yang mendesak dibentuk ataupun revisi untuk mempercepat proses pemulihan kondisi masyarakat akibat pendemi perlu menjadi prioritas. Seperti RUU yang mengatur tentang penanganan bencana, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor ekonomi, dan lainnya yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: SGP/Hol
Gedung DPR. Foto: SGP/Hol

Badan Legislasi (Baleg) mulai menyusun daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Rapat perdana pun sudah digelar. Meski belum ada kesepakatan di internal DPR soal usulan RUU apa dan mana saja yang bakal masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 secara resmi. Namun, seharusnya penyusunan prolegnas berdasarkan kebutuan hukum masyarakat, bukan kepentingan segelintir elit melalui usulan RUU dari pihak-pihak tertentu.

Dosen Hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin mengatakan salah satu dasar penyusunan program legislasi menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Karena itu, situasi kebutuhan pandemi mesti menjadi pertimbangan utama DPR dan pemerintah dalam menyusun prioritas tahunan.

“Harus sesuai kebutuhan hukum masyarakat,” ujar Muhammad Nur Sholikin kepada Hukumonline, Jumat (20/11/2020). (Baca Juga: Melihat Sejumlah RUU Prolegnas 2021 Usulan DPR)

Menurutnya, UU yang mendesak dibentuk, atau direvisi untuk mempercepat proses pemulihan kondisi masyarakat akibat pandemi perlu menjadi prioritas. Seperti UU yang mengatur tentang penanganan bencana, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor ekonomi, dan lainya yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat.  

“Ironisnya, bila melihat ke belakang, muncul RUU yang tidak didasarkan kebutuhan hukum masyarakat,” kata Sholikin.

Misalnya, masih terdapat kontroversi di masyarakat beberapa waktu lalu yang perlu dihindari.  Seperti pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna menimbulkan reaksi besar dari masyarakat hingga saat ini. Reaksi ini disebabkan antara lain, proses pembahasan yang tidak  tranparan dan akuntabel dan prosesnya sangat cepat.

Selain itu, penyusunan RUU Prolegnas Prioritas perlu melakukan kajian mendalam untuk menjaring apa saja aturan yang dibutuhkan masyarakat ke depannya. Dalam menentukan RUU Prioritas tahun 2021, DPR dan pemerintah seharusnya mempertimbangkan situasi pandemi yang saat ini masih berlangsung.

“DPR dan pemerintah sebaiknya menunda pembahasan RUU yang berpotensi menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat,” saran dia.

Mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia periode 2015-2019 itu melanjutkan penyusunan prolegnas prioritas tahun 2021 seharusnya bercermin pada capaian kinerja legislasi sebelumnya. Seperti periode 2020, misalnya, DPR menetapkan 37 RUU menjadi prioritas tahunan.

Namun, berdasarkan pantauan hingga November, DPR hanya mampu mengesahkan 13 RUU. Sayangnya dari jumlah tersebut hanya 3 RUU yang masuk dalam prioritas tahunan 2020 yakni UU Pertambangan Mineral dan Batubara; UU Bea Materai; dan UU Cipta Kerja. Artinya, realisasi penyelesaian RUU menjadi hanya sekitar 8 persen dari yang direncanakan. “Sisanya RUU kumulatif terbuka yaitu satu revisi UU MK dan lain merupakan pengesahan APBN dan perjanjian internasional,” ujarnya.

Menurutnya, minimnya capaian RUU dalam prolegnas prioritas tahunan menjadi persoalan berulang dalam kinerja legislasi DPR dan pemerintah. Seharusnya DPR dan pemerintah lebih realistis dalam menetapkan jumlah RUU ke dalam prioritas tahunan.

Berkaca pada dinamika proses legislasi yang menimbulkan kontroversi beberapa waktu lalu, akibat minimnya partisipasi dan akuntabilitas DPR dan pemerintah, dia menyarankan perlu memprioritaskan penataan kembali proses legislasi dengan merevisi UU No. 12/2011. Menurutnya, revisi UU 12/2011 semakin mendesak dengan digunakannya metode omnibus law dalam penyusunan undang-undang.

“Banyaknya persoalan proses dan kesalahan teknis dalam proses legislasi yang seharusnya menjadi momentum perbaikan menyeluruh proses dan tata kelola pembentukan UU,” sarannya.

Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius mengatakan harapan pimpinan DPR merampungkan sejumlah RUU Prolegnas Prioritas 2020 hanyalah isapan jempol. Semestinya capaian RUU hingga November sudah dapat menjadi ukuran kinerja legislasi DPR sepanjang satu tahun ini. Termasuk untuk penyusunan RUU Prolegnas Prioritas 2021.

Sebelumnya, Anggota Baleg Hendrik Lewerissa mengatakan memasukan RUU dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 harus didasarkan pada kemendesakan dan kebutuhan hukum bagi pemerintah dan publik. Menurutnya, harus ada keputusan politik dari DPR terkait RUU super prioritas target Prolegnas 2021.

Misalnya, RUU Masyarakat Hukum Adat berada pada pembicaraan tingkat I; RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi kebutuhan mendesak bagi publik. “Ini desakannya sangat tinggi, kami menaruh perhatian khusus terhadap kebutuhan publik ini,” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Anggota Baleg Taufik Basari mengingatkan RUU yang dapat masuk daftar Prolegnas Prioritas 2021 harus memiliki naskah akademik dan draf RUU. Selain itu, perlu kajian mendalam terhadap RUU-RUU yang berstatus super prioritas. Dia pun mendorong kajian prioritas tak sekedar prioritas dari kacamata DPR dan pemerintah, tapi juga kaca mata publik.

“Ini indikator menjadi bahan kajian tentang beban prioritas agar frekuensi pemerintah dan DPR sesuai keinginan publik. Sebagai wakil rakyat harusnya harapannya sama dengan publik. Beberapa RUU ini bisa kita lihat dengan prioritas sesuai harapan publik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait