Peradilan Dianggap Paling Aktif Minta Suap
Utama

Peradilan Dianggap Paling Aktif Minta Suap

Menurut survei TII, kalangan pengusaha masih bersikap mendua dalam memandang tindak pidana penyuapan.

CRK/Rzk/Her
Bacaan 2 Menit

 

Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis, mengakui hasil temuan bahwa Peradilan memiliki inisiatif tertinggi dalam meminta suap ialah suatu hal yang menarik, walau secara pribadi dirinya tidak percaya seseorang bisa bertepuk sebelah tangan. It takes two to Tango ujarnya mengutip sebuah ungkapan terkenal. Menurutnya, praktek suap terjadi karena ada yang menawarkan, yakni para calo dan pengacara hitam.

 

Sumber hukumonline meragukan nilai presentase 100 persen tersebut, karena biasanya permintaan datang dari kedua belah pihak. Bohong bila dikatakan inisiatif semua datang dari pengadilan tandas pria yang berprofesi sebagai advokat. Sekedar gambaran, kalau perkaranya tipis-tipis, maka kebanyakan pengusahanya yang minta. Dan hakim biasanya menunggu didekati (di-approach). Hakim tidak mau minta karena menunggu tawaran yang terbaik. Tetapi, bila menurut hakim perkaranya kuat, maka hakimnya biasanya yang minta, lewat panitera.

 

Juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, secara terpisah menyatakan apa yang dikatakan survey TII mungkin betul, mungkin juga tidak. Namun, harus diakui bahwa masih ada hakim yang bandel, ujarnya seusai rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat. Ia kemudian menyarankan untuk menindak lanjuti survei dengan laporan bila tersedia data-datanya.

 

Memang, usaha memperbaiki sistem peradilan tampaknya masih mengalami banyak hambatan. Deputi  Pembinaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Waluyo, yang diminta membri tanggapan atas hasil survei, menyampaikan bahwa telah ada reformasi birokrasi yang dimulai di lembaga peradilan, tapi prosesnya lambat dan tidak jelas. Pada tanggal 22 Desember tahun 2005 Presiden datang ke Mahkamah Agung untuk mencanangkan reformasi birokrasi, tetapi hasilnya belum banyak.

 

Terbelah

Todung menilai, responden survei ini terbelah dalam memandang suap. 49 persen responden setuju praktek suap dalam pelayanan publik, dan 50 persen lainnya tidak setuju terhadap praktek pemberian imbalan. Responden yang menolak beralasan pemberian suap merusak sistem, sudah merupakan tugasnya, mereka sudah dibayar, melanggar hukum, serta mengakibatkan biaya tinggi. Alasan pengusaha yang setuju antara lain untuk berterimakasih, menganggap hal tersebut suatu hal yang lumrah, supaya urusan lancar, gaji pegawai rendah dan laiknya memberi zakat.

 

Temuan lain TII, ialah tingginya harapan pengusaha terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dianggap sebagai badan yang masih dipercaya mampu memerangi korupsi dengan 32 persen responden menempatkannya di peringkat pertama. Yang agak mengejutkan, asosiasi bisnis menempati peringkat kedua dengan 24 persen. Sementara itu, media dan LSM berada di urutan selanjutnya dengan 16 dan 12 persen. Polisi kurang diharapkan dengan 6 persen, serta kepercayaan terhadap tokoh keagamaan untuk memberantas korupsi hanya 3 persen.

 

Di tempat terpisah, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menyarankan agar lembaga peradilan melakukan counter survey jika keberatan dengan hasil survei TII. Namun Busyro yakin survei TII valid dan bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis.

 

Tags: