Perbaiki Sistem Dulu, Baru Bicara Pembiayaan Parpol
Utama

Perbaiki Sistem Dulu, Baru Bicara Pembiayaan Parpol

Wacana pembiayaan parpol sebesar Rp1 triliun pertahun tanpa dasar rasionalitas dan alasan yang benar merupakan bentuk pembodohan publik.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua DPD Irman Gusman. Foto: SGP
Ketua DPD Irman Gusman. Foto: SGP
Wacana negara membiayai partai politik (Parpol) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat diberlakukan sepanjang sistem kepartaian dan Pemilu telah membaik. Tingginya angka korupsi disektor politik menjadi persoalan yang mesti dicari jalan keluar.

“Jadi ada masalah dengan Parpol. Tetapi sistemnya harus dibehani. Menurut saya karena parpol dibiayai orang per orang, maka kita ingin perbaiki sistemnya,” ujar Ketua DPD Irman Gusman di Gedung DPD, Selasa (10/3).

Menurutnya Parpol masih menggunakan sistem oligarki dan berkultur feodal. Akibatnya, demokrasi menjadi liberal. Dikatakan Irman, tingginya tingkat korupsi di parlemen lantaran adanya biaya politik. Ia berpandangan dalam rangka memperbaiki demokrasi dimulai dengan memperbaiki sistem parpol.

“Setelah sistemnya bagus, baru kita bersama pemerintah bahas biaya beriringan dengan APBN kalau sehat. Kapan dan bagaimana caranya mari kita rumuskan, jadi tidak oligarki,” katanya.

Senator asal Sumatera Barat itu berpandangan, dengan adanya aturan menjadi payung hukum pembiayaan parpol, alat negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat masuk untuk melakukan audit. Prinsipnya, Irman menyatakan persetujuannya dengan wacana pembiayaan parpol sepanjang telah diperbaiki sistem kepartaian dan pemilu.

“Saya mendukung negara memberikan bantuan kepadaparpol dan peserta pemilu dengan catatan sistemnya diperbaiki dulu, dan ke depan wajah politik semakin baik,” katanya.

Sebelumnya, wacana pembiayaan parpol digelontorkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dalam sebuah diskusi di Jakarta. Selain Tjahjo, Irman pun menjadi salah satu narasumber. Tjahjo mewacanakan pembiayaan dana bagi parpol sebesar Rp1 triliun pertahunnya bagi setiap parpol.

Anggota Komisi III Nasir Djamil berpendapat, rasionalitas anggaran yang diperoleh negara sesuai dengan tujuan bernegara. Selain itu, berdasarkan kemampuan dalam pelaksanaan anggaran tersebut. Menurutnya, wacana pembiayaan parpol sebesar Rp1 triliun  pertahunnya tanpa dasar rasionalitas dan alasan yang benar merupakan bentuk pembodohan publik.

“Dan juga potensi perampokan keuangan negara,” katanya.

Dengan demikian, kata Nasir, anggaran parpol yang diwacanakan Rp1 triliun mesti dipandang dari aspek rasional, bukan sekadar angka rupiah yang fantastis. Menurutnya, melambungnya angka Rp1 triliun bukan tidak mungkin menimbulkan niat jahat dengan keinginan menyalahgunakan, bukan sebaliknya memanfaatkan demi kepentingan rakyat.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan, anggaran parpol dapat diberikan sepanjang pertimbangan secara rasional. Pertama, parpol merupakan pilar demokrasi sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Makanya, menjadi wajar parpol ditempatkan pada posisi strategis dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara untuk kemudian didukung pendanaanya.

Kedua, aspek program dan fungsi. Parpol mesti  memiliki program yang jelas berbasis fungsi parpol, seperti fungsi rekrutmen, kaderisasi dan pendidikan kepemimpinan bangsa, fungsi sosialisasi dan komunikasi masyarakat, fungsi penyelesai dan pengatur konflik.

“Dengan demikian, anggaran yang dikasih bukanlah gelondongan begitu saja yang rawan korupsi,” katanya.

Ketiga, bentuk kegiatan yang benar sesuai fungsi yang dijalankan. Keempat, kesiapan untuk secara transparan dan akuntabel membuka anggaran kepada publik dari perencanaan program sampai dengan pelaksanaan serta evaluasi penggunaan anggaran. Kelima, apabila tujuan program tidak tercapai atau bahkan terjadi penyelewengan anggaran, parpol siap dihukum dalam bentuk pengurangan anggaran dan ancaman hukuman pidana yang lebih berat.

“Apabila pendekatan rasionalitas yang dipakai, maka besarannya bisa jadi lebih dari Rp1T, karena pengurus partai berjenjang dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, bahkan RW dan RT,” katanya.

Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, Tama S Langkun, mengatakan mesti melakukan kajian mendalam sebelum memberikan penilaian. Namun, satu hal yang mesti menjadi perhatian adalah mekanisme akuntabilitas dan transparansi parpol. Pasalnya, banyaknya parpol yang enggan memberikan laporan keuangan kepada publik.

“Kalau disengketakan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, mereka baru mau memberikan. Jadi sejauh ini parpol belum siap terbuka,” katanya.

Tama berpendangan, pemberian dana segar kepada parpol tidak dapat dijadikan jaminan korupsi politik bakal menurun. Makanya pemerintah semestinya melakukan kajian mendalam sebelum mewacanakan pembiayaan parpol. Menurutnya banyak variabel yang mesti ditelaah dan dilakukan kajian oleh pemerintah dan berbagai stakeholder.

“Tapi kita lagi-lagi belum melakukan penelitian sejauh itu. Alangkah baiknya ada audit dulu sebelum memberikan uang. Sejauh ini kita belum bisa kasih penilaian setuju atau tidak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait